Langsung ke konten utama

KATA MEREKA

Mereka bilang saya gila, sering bicara sendiri, berkhayal terlalu tinggi, sering bertingkah aneh-aneh, kebanyakan gaya. Tapi saya sih tidak peduli-peduli amat sama omongan mereka, toh kalau saya suka bicara sendiri memangnya kenapa? Dari pada saya dibilang normal tapi suka bicara ramai-ramai ngobrol di kafe, warung kopi atau pengkolan. Ngomong ngalor-ngidul sampai mulut berbusa-busa, padahal apa yang diomongkan berjam-jam itu tidak ada juntrungannya.

Terus kalau saya suka mengkhayal tinggi-tinggi memangnya salah? Lagian saya juga tidak pernah meminjam kepala mereka buat saya mengkhayal, saya modal, pakai kepala saya sendiri. Terus kenapa mereka mencak-mencak kalau saya berkhayal suatu saat manusia bakalan tinggal di Mars?

Kalau saya bertingkah aneh atau suka bergaya-gaya apa mereka rugi? nggak juga kan? Kecuali kalau saya bertingkah sambil membakar rumah mereka atau ayam mereka yang suka berak sembarangan di halaman rumah saya, saya lindas pakai motor saya yang jalannya seperti keong itu. Baru mereka boleh protes.

Pernah juga mereka bilang kalau saya itu terlalu apatis, terlalu sibuk dengan dunia saya sendiri, tidak peduli lingkungan, kurang gaul. Bodo amat, memangnya kalau saya jadi gaul, suka ngomongin hal-hal yang kurang penting bakal bikin saya jadi orang kaya. Nggak ada hubungannya. Lagian juga saya jadi apatis begini malah menguntungkan buat mereka. Jadi mereka tidak harus jadi berlagak peduli-peduli amat. Pura-pura menyuapi bubur waktu saya sakit atau sekedar memasakkan air hangat buat saya mandi waktu saya demam.

Maleslah gabung-gabung dalam kerumunan, terlalu melelahkan kalau terus diikuti. Yang suka menulis bikin komunitas menulis, yang suka bongkar-bongkar motor bikin geng motor, yang suka main musik bikin band, yang suka selfie… jatuh ke jurang. Saya tidak punya hobbi yang pasti, biasanya tiap bulan berubah, jadi saya bikin komunitas sendiri, dengan anggota tunggal: saya sendiri.

Sering juga saya di cap sebagai orang yang bodoh, penakut, keras kepala dan lain-lain dan lain-lain dan lain-lain dan lain-lain sebagainya. Capek mendengarkan omongan mereka, makanya kalau ke mana-mana saya biasanya bawa head set. Kalau mereka mulai ngoceh yang aneh-aneh tentang saya, beararti itu tanda lagu Conuntdown to Extinction-nya Megadeth harus saya putar dengan volume maksimal.
Lagian juga kenapa sih mereka yang hobbi nuduh saya yang nggak-nggak itu bikin komunitas pembenci saya, bikin merchandise, kaos, syal dan pin yang berisi kata-kata hujatan buat saya. Lumayan kan, mereka bisa punya penghasilan. Dari pada cas cis cus tidak jelas, ngomongin saya sampai mulut berbusa-busa, tapi saat perut mereka lapar dan sadar di kantong mereka hanya ada angin, mereka pulang ke rumah, mengemis makanan sama orang tua.

Saya tidak pernah marah waktu mereka menuduh saya macam-macam. Saya terima, toh saya memang begitu adanya. Tapi satu hal yang tidak boleh mereka tuduhkan kepada saya: jangan pernah menuduh saya kalau saya kurang tampan, karena tuduhan itu adalah hak prerogatif ibu saya seorang. Beliau sampai saat ini masih percaya kalau saya adalah lelaki yang paling tampan sedunia. Jadi jangan coba-coba menuduh saya kurang tampan, bisa jadi fitnah dan pembohongan publik dan bisa saya seret ke meja hijau. Bukan pengadilan, kalian berpikir terlalu jauh. Meja hijau yang saya maksud itu meja ping-pong. Di sana kalian akan saya smash habis-habisan pakai bola ping pong saya.

Sudahlah. Sekian dulu ya. Bye.

Komentar

Sang Mahadewa mengatakan…
Kocak ..
Hak prerogatip Ibu 😂😂😂
Wiwid Nurwidayati mengatakan…
Hahahahaha
Ngakak bacanya..
Unknown mengatakan…
Ketampanan bergantung pada peluang
Unknown mengatakan…
Ketampanan bergantung pada peluang
Unknown mengatakan…
Likiiin.blogspot.com
Silahkan di kritik...😁

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s