Rasanya setiap gesekan baju di kulit saja terasa seperti sayatan silet. Perih… perih sekali. Tapi aku tetap berusaha ternyum walaupun getir. Setiap apa yang kita lakukan di masa lalu, baik atau buruk, waktu pasti akan mengingat dan mencatatnya dengan baik. Tak ada celah untuk pura-pura tidak tahu atau menyalahkan orang lain. Polisi karma ada di mana-mana.
“Berdoa Ray,” bisik Nurani lembut. Rambutnya yang ikal panjang berkibar-kibar terkena tiupan kipas angin yang disetel maksimal. Ruangan ini selalu terasa gerah bagiku.
“Berdoa pada siapa?” jawabku sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna pucat.
“Pada Tuhanmu.”
“Tuhan yang mana? Aku sudah menjadi atheis sejak sepuluh tahun lalu.” Bibir Nurani mengerucut. Ada rasa kecewa teramat dalam saat dia mendengar kata-kataku barusan.
“Mana Ray yang dulu aku kenal? Ray yang taat. Ray yang setiap saat mulutnya selalu basah karena membisikan firman Tuhan.” Nurani mengingatkan. Ada harapan yang bisa aku tangkap dari tatapannya.
“Itu dulu, Nur. Seakarang… sekarang aku bukan Ray yang dulu. Mana ada Tuhan yang mau disembah oleh umatnya yang setengah jadi sekaligus penyakitan seperti aku!” tanpa sadar aku mengucapkan kata-kata itu begitu keras. Ada perasaan marah dan kecewa yang keluar dari kerongkonganku. Kemarahan yang terakumulasi selama bertahun-tahun meledak saat itu.
Air mataku tiba-tiba jatuh. Nurani buru-buru mengambil tisu yang ada di meja dekat kasur dan mengelap air mata yang terlanjur meleleh dari sudut mataku.
Perih sekali saat tisu yang diusapkan nurani menyentuh pipiku, padahal Nurani melakukannya dengan begitu lembut seolah-olah wajahku terbuat dari porselen yang retas. Ingin mati saja rasanya setiap rasa sakit itu datang.
“Sekarang kamu harus makan, setelah itu minum obat untuk mengurangi rasa sakitmu.”
Aku membuang mukaku dari arah Nurani. Rasanya sia-sia setiap waktu minum obat untuk mengurangi rasa sakit. Mati rasanya lebih baik. Tapi apakah dengan mati aku akan terbebas sepenuhnya dari rasa sakit? Sedangkan dari ajaran agama yang aku anut dulu menyatakan bahwa akan ada kehidupan setelah kematian, kehidupan yang kekal.
Bersyukurlah bagi orang-orang yang selalu berbuat baik selama hidupnya, mereka dijanjikan kebahagiaan yang kekal di kehidupan setelah kematian. Bagi mereka yang alfa dan sering berbuat kekeliruan selama hidup, bersiap-siaplah, rasa sakit yang kekal juga menunggu, siap menerkam tanpa ampun, kekal, selamanya.
Sia-sia sepertinya, jika diperkenankan untuk memilih, pasti aku akan memilih untuk tidak pernah dilahirkan dari pada harus hidup penuh kesakitan dan setelah matipun akan ada sakit yang menunggu yang jumlahnya ribuan kali dari rasa sakit yang aku rasakan sekarang.
Nurani datang dari arah pintu, semangkuk bubur hangat terhidang di tangan kirinya dan sendok di tangan kanannya. Dengan telaten dia sendok sedikit bubur dari mangkuk dan meniup-niupnya sampai benar-benar dingin. Dia tahu sedikit saja ada panas tersisa dari bubur yang masuk ke dalam mulutku rasanya seperti menelan bara.
“Buka mulutmu pelan-pelan!” katanya sambil menyorongkan sendok berisi bubur yang sudah dia tiup sampai benar-benar dingin.
Kucoba membuka mulutku perlahan-lahan.
Bubur itupun masuk ke dalam mulutku, aku kunyah perlahan-lahan. Ada sedikit rasa perih saat mengunyahnya. Tapi aku paksakan lalu aku telan. Setengah mangkuk bubur hampir habis saat tiba-tiba perutku berontak dan dengan gerakan reflek aku memutar badan ke samping, karena gerakan itu tulangku terasa ngilu, tapi yang lebih parah muntahanku mengenai rok Nurani.
Dia bangun dan segera menaruh mangkuk bubur di atas meja. Bukannya berusaha membersihkan roknya yang terkena muntahanku dia malah dengan gerakan cekatan membantuku agar rebah dengan sempurna di atas ranjang. Lalu dia ambil tisu dan menyeka sisa muntahan di sekitar bibirku.
Melihat semua yang dia lakukan rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya. Bagi Nurani aku seolah-olah manusia yang masih sempurna. Manusia yang masih diangap penting. Aku terenyuh dengan semua keikhlasannya merawatku setahun terakhir..Sebuah keputusan maha besar yang tidak mungkin berani dilakukan oleh orang kebanyakan.
Aku menderita HIV positif.
Jangankan untuk menyuapiku semangkuk bubur. Berdiri dalam radius yang bisa aku jangkau saja sudah memiliki resiko tersendiri. Tapi seolah-olah merasa imun dia memperlakuakanku seperti manusia normal.
Aku homo, gay. Aku sendiri baru menyadari hal itu saat aku mulai beranjak dewasa. Pada awalnya aku menyangkal, tapi ternyata kenyataan itu tak bisa kutolak. Awalnya aku merasa malu, risih. Aku marah pada Tuhan. Aku mahkluk yang tidak sempurna. Produk gagal yang diciptakan Tuhan. Jika saja semua manusia sepertiku di abad mendatang spesies manusia pasti punah. Aku pecinta sesama jenis. Tak ada harapan punya keturunan.
Menyadari hal itu ayah dan ibuku mulai langsung membuat ultimatum: jadi normal atau diusir dari keluaraga!
Ultimatum apa? Bukankah si manusia setengah jadi ini hasil buah karya mereka. Aku darah daging mereka. Dengan perasaan kecewa dan marah luar biasa aku putuskan untuk meninggalkan rumah. Lebih baik pergi secara terhormat dari pada diusir atas sebuah kesalahan yang tak pernah aku lakukan.
Terceburlah aku dalam semesta pecinta sesama jenis. Bertahun-tahun aku terbuai, turut ambil bagian dalam pesta sodom dan gomorah sampai akhirnya vonis itu datang. Aku terkena HIV. Pada awalnya ‘kekasih-kekasihku’ menunjukkan simpati, toh karena mereka juga aku jadi begini. Mereka sering membawakanku makanan, menemaniku berobat ke dokter sampai menyiapkan air hangat untuk aku mandi. Tapi lama-lama mereka sedikit demi sedikit mundur secara teratur.
Merasa sedih? Iya. Merasa kecewa? Pasti. Merasa marah? Jangan ditanya lagi. Mencoba bunuh diri? Sudah berkali-kali. Rasanya bunuh diri boleh jadi pembelaan terbaik. Lagi pula sisa umurku juga sudah terhitung jari. Ujung-ujungnya aku tidak lama lagi akan mati. Tuhan berkehendak lain, seolah-olah ingin menghukumku secara langsung di dunia, aku gagal setiap kali bunuh diri. Ada saja yang menghalangi. Pertama kali dalam hidup ada orang putus asa dalam mencari mati dan aku mengalaminya sendiri.
Di titik terendah dalam hidupku Nurani datang. Menurut pengakuannya dia pernah tergila-gila padaku dulu tapi tak pernah berani untuk mengungkapkan. Saya bertemu dia di sebuah rumah sakit, dia perawat di sana. Tanpa rasa malu aku ceritakan semuanya. Untuk apa malu, malu tidak dibawa mati dan sebentar lagi aku akan mati. Di luar perkiraan, bukannya menghindar esok harinya dia malah datang ke rumahku, lengkap dengan sekeranjang buah-buahan, beberapa kaleng susu dan majalah kesehatan.
Paling juga hanya bertahan beberapa saat, pikirku. Seperti ‘kekasih-kekasihku yang lain’ dia juga pasti akan merasa jengah lalu mundur perlahan. Tapi aku salah besar. Sampai detik ini dia masih ada di sampingku, orang yang setiap hari menyuapiku sambil tidak lupa mengingatkan untuk minum obat. Orang yang setia menyiapkan air hangat untukku mandi dan menyiapkan telingga untuk mendengar keluh kesahku.
Tuhan bekerja dengan cara yang magis. Setelah aku pikir-pikir aku jadi tidak merasa homo-homo amat. Tuhan menjanjikan bahwa setiap manusia sudah disiapkan pasangannya dari jenisnya. Aku berani bersumpah, dialah pasangan yang jauh-jauh hari sudah disiapkan Tuhan untukku. Tidak secara fisik, tapi secara batin.
Aku tengok ke samping. Nurani tertidur di sofa dalam posisi duduk. Dia pasti sangat kelelahan hari ini.
Sebelum tidur aku sempatkan untuk berdoa, hal yang sudah sangat lama aku tinggalkan bahkan aku lupa tata caranya, tapi dengan secuil keimanan yang masih tersisa aku yakin Tuhan Maha mendengar.
“Terima kasih sudah melengkapkan aku sebagai manusia secara utuh. Tidak secara fisik kami bersatu, tapi secara batin kami Engaku genapkan. Tidak pernah aku meminta kesembuhan atas penyakitku tapi setidaknya ada seseorang yang tulus menemaniku di saat akhir hidupku. Terima kasih…. Terima kasih…. Terima kasih…. Aminnn…”
Mana tahu saat besok Nurani terbangun aku sudah sembuh atau sudah tidak ada.
Komentar
Kissh nyata
Tapi tulisannya ngalir gitu aja... keren dah