Mungkin seperti ini gambaran kiamat yang sering dikhotbahkan para ustadz di mesjid-mesjid atau para pendeta di gereja dekat rumah yang saban minggu selalu ramai didatangi jemaatnya. Aku celentang di atas batuan datar, mencoba berlindung di balik batuan cakar ayam yang difungsikan untuk menahan gelombang. Aku ketakutan setengah mati tapi mata tidak mau terpejam, kukuh menatap langit, takut kehilangan momen kolosal saat petir berhamburan meramaikan langit. Langit yang gelap selama beberapa detik menjadi begitu benderang dengan lidah petir yang berkilauan. Lautan koclak, ombaknya berdeburan menghantam tepian, wajahku berpuluh kali tersiram biasannya dan berkali-kali pula kerongkonganku perih menelan air asin laut.
Lima meter dari tempatku terlentang, sahabatku dengan gagah berdiri tegap, bajunya yang basah rapat mendekap tubuhnya. Siluetnya nampak seperti ksatria yang siap bertempur di medan perang, dengan joran teracung tinggi dilatari kabut dan jilatan halilintar. Aku tak heran, dari dulu dia memang kepingin mati. Gambaran utuh orang yang kalah sebelum waktunya. Saat ini adalah momen yang pas bagi dia. Kalau dia tersengat petir atau terhempas gelombang mayatnya akan terbawa arus ke tengah laut, entah sampai ke mana atau akan habis dimangsa seisi lautan sebelum tubuhnya sempat kandas ke tepian, dan aku akan beralibi tidak pernah bertemu dia selama beberapa minggu terakhir. Bunuh diri yang sukses. Tak ada tersangka, tak ada korban. Aman.
Hampir dua jam kami dalam berjuang dalam kontradiksi. Saya ingin tetap hidup, dia ingin cepat mati. Tapi alam sepertinya memandang remeh kami. Kami seperti dua mahkluk yang tidak penting dalam drama katastropi kolosal yang kini sedang berlangsung. Takdir enggan menyapa. Kami tetap seperti biasa. Saya sumringah. Teman saya yang ingin mati kecewa, keinginannya kali ini gagal, walau momennya sudah begitu sempurna.
Dengan tubuh menggigil dan wajah pucat dia duduk dekat kepala saya, joran yang semula dia genggam erat kini disampirkan di batuan. Tangannya bergetar saat membuka tutup termos yang berisi kopi. Badai mulai pergi, kilat berangsur lenyap, menyisakan lautan sepi seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa, padahal kami tahu di darat sana pasti sudah banjir setidaknya setinggi paha.
Sambil mengumpulkan keberanian yang sempat ciut aku berusaha duduk sambil bersandar di batuan cakar ayam. Tubuhku juga gemetar karena hawa dingin dan sekujur tubuh basah. Kuambil sebatang rokok yang sempat kuselamatkan dari dalam kantong kresek, berkali-kali mencoba menyalakan pematik dan beberapa detik kemudian sekeliling kami sudah berselimut asap. Suasana menjadi sedikit lebih hangat.
Temanku menyorongkan tutup termos yang berisi kopi hangat. Dengan satu tegukan isi termos tandas. Sekujur tubuhku mulai hangat, tapi masih malas untuk meneruskan acara memancing karena badai barusan.
“Gagal lagi?” kataku dengan nada setengah bertanya. Temanku hanya mengangguk sambil membakar sebatang rokok.
“Berarti ada alasan kenapa sampai sekarang kamu nggak mati juga.” Kataku enteng seolah kematian hanyalah perkara biasa seperti merestart handphone.
“Hidup juga buat apa?” katanya dengan nada malas.
Kata-kata ini yang sudah aku tunggu dari dulu.
“Ada empat alasan kenapa kita bisa terlahir ke dunia ini dengan selamat. Kasih dan rahmat Tuhan, Doa ibumu, kebanggan ayahmu dan harapan dari orang yang sudah ditakdirkan untuk mendampingi hidupmu.”
Nampaknya dia tertarik mendengarkan sambil menahan hawa dingin angin sisa badai.
“Malam ini kita bisa pergi memancing dan tidak mendapat satu ekor ikan pun, itu rahmat Tuhan,” kataku sambil meringis karena menyadari berjam-jam kami memancing tapi belum dapat apa-apa.
“Soal ibumu, yah… lupakan saja, mungkin dia sibuk dengan suami barunya. Bapakmu, doakan saja, semoga dia ingat rumah dan pulang…” aku berhenti, prinsipku tentang kelahiran dengan garis hidup temanku ini, sepertinya dia memang layak mati. Aku harus sedikit berimprovisasi.
“Terus yang keempat?” tanyanya ingin aku melanjutkan teoriku yang sebetulnya aku sendiri ragu akan berhasil.
“Orang yang sudah ditakdirkan mendampingi hidupmu, istrimu.”
“Tapi dia kan sudah pergi dengan lelaki lain.” Tukasnya cepat.
Otakku berputar.
“Untukmu pengecualian, ada poin kelima.”
“Apa?”
“Anakmu.”
Dia termenung.
“Ayolah, anakmu masih empat tahun, masih panjang jalan hidupnya. Masih butuh figur seorang ayah supaya saat dia tumbuh besar dia tidak akan jadi produk gagal sepertimu nantinya.”
Dia menyeringai sambil tersenyum dengan kata-kataku barusan.
“Begini saja. Kamu berjanji saja pada Tuhan agar diberi kesehatan dan keselamatan sampai kamu bisa melihat anakmu lulus kuliah, bekerja, berkeluarga dan punya anak bary Tuhan mencabut nyawamu, gimana?”
“Kalau Tuhan masih belum mau mencabut nyawaku juga bagaimana?”
“Jangan takut, kalau saat itu tiba dan kamu masih belum mati juga. Kita mancing lagi di tempat ini. Akan aku buatkan kamu kopi sianida dosis tinggi. Ahahahahaha.” Aku terkekeh sendiri membayangkan kata-kataku barusan. Kata-kata yang sangat vulgar tapi rasanya menyenangkan untuk diucapkan.
Temanku mengangguk setuju dan ikut tertawa. Kami menghabiskan sisa waktu sampai pagi sambil meneruskan memancing.
Sampai pagi datang, tak ada satu ikanpun yang berhasil kami tangkap. Maam itu kami benar-benar diberkati cinta dan rahmat Tuhan. Amin.
Komentar
Kompor Gas.
Bagus dan idenya selalu unik