Langsung ke konten utama

LAIKA DAN TITI




Kunamai dia Laika, seekor anak anjing kampung yang kutemukan sedang tertidur di atas keset pintu depanku. Waktu itu hampir masuk waktu subuh, keadaan masih remang-remang. Aku tak sengaja menginjak tubuh anak anjing itu. Dia meyalak keras, suaranya lebih seperti gabungan antara rasa sakit dan permohonan untuk diizinkan tidur di depan pintu rumahku daripada sebuah ancaman karena tubuhnya terinjak olehku. Tapi karena aku tidak pernah terbiasa dengan seekor anjing tetap saja aku melompat menghindar menjaga jarak aman dari jangkauannya. Tubuh Laika berwarna hitam gelap. Hanya ada sedikit warna putih kecoklatan di bawah lehernya. Tubuhnya sangat kurus. Dia menatap mataku dalam. Entah karena aku yang masih setengah mengantuk atau karena naluri kemanusiaanku, aku merasa kasihan pada anak anjing itu. Aku memelihara dia, padahal seumur hidup aku tidak pernah memelihara hewan apapun, apalagi seekor anjing.

           Perlahan anak anjing itu tumbuh menjadi seekor anjing betina dewasa yang sehat. Aku memang terlalu bodoh untuk memberi nama, jadi kunamai saja dia Laika. Laika adalah nama seekor anjing Rusia yang pertama kali pergi ke luar angkasa, namun sayang perjalanan dalam rangka penelitian untuk kebaikan umat manusia itu harus ditebus dengan nyawanya. Untuk mengenang anjing Rusia itu maka kuberi nama anjingku Laika. Padahal teman-temanku pernah menyarankan nama yang jauh lebih bagus, ada yang menyarankan memberi nama Miu, Momo, Sarah, Luna…. Well, dua nama terakhir jelas-jelas tidak akan kupilih karena terlalu berbau nama manusia.

            Tiga tahun sejak pertemuan kami yang mendebarkan di depan pintu pada subuh temaram yang membuatku sport jantung itu, Laika kini seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hari-hariku. Aku bekerja sebagai seorang penulis dan dengan setianya Laika selalu duduk di bawah ranjangku setiap malam saat aku menyelesaikan tulisanku. Dia seperti penjagaku. Pernah suatu hari aku merasakan sakit pada perutku, sakit yang sangat hebat, perutku seperti diperas. Aku tidak bisa bangun dari tempat tidurku. Aku mau berteriak tapi suaraku rasanya tidak bisa keluar, aku hanya bisa menangis, itupun tanpa suara, hanya berupa rintihan-rintihan saja. Laika yang menyadari ada yang tidak wajar dengan diriku segera melompat keluar melalui jendela, aku dengan segenap tenaga yang aku punya mencoba menggapai-gapai ke arah jendela. Saat aku butuh pertolongan seperti ini kenapa dia malah pergi, dasar binatang tak tahu terima kasih, batinku. Lima menit berlalu tapi sakit di perutku malah semakin bertambah hebat, mau mati saja rasanya. Lalu aku mendengar suara orang-orang ramai di depan pintuku, tapi apa dayaku. Bersuara saja aku tak bisa, apalagi berteriak meminta pertolongan. Lalu aku mendengar suara pintuku didobrak paksa, pandanganku sudah mulai samar tertutup rasa sakit dan airmata yang sedari tadi mengambang di pelupuk mataku. Dalam pandangan mataku yang buram itu aku melihat beberapa orang tetanggaku datang. Alhamdulillah, batinku. Aku melihat mereka yang sedang panik mencoba menebak-nebak apa yang terjadi padaku, dan aku melihat Laika ada di sana. Ternyata dia melompat melalui jendela karena tahu ada yang salah dengan tuannya dan berusaha mencari pertolongan, air mataku semakin tumpah ruah. Pandangan mataku semakin buram. Aku semaput.

            Aku terbangun dengan mata disipit-sipitkan karena silau dengan cahaya yang ada di sekelilingku. Aku melihat Mak Ijah sedang menempelkan botol minyak kayu putih ke hidungku sambil tangannya mengurut-urut perutku dengan pelan. Beberapa orang lagi sedang memijit-mijit ujung kakiku. Rasa sakit di perutku sudah hilang. Aku memutar pandangan, mencari Laika. Dia ada di sudut dengan pandangan khawatir dan was-was, dia memantau semua kegiatan yang terjadi di dalam kamarku. Aku benar-benar berterima kasih padanya. Kalau tidak ada dia aku pasti sudah mati.

            Diagnosa Mak Ijah menyatakan kalau aku menderita penyakit angin duduk, atau apalah namanya. Intinya berbahaya dan bisa bikin mati. Huh, mendengar kata-kata mati saja sudah membuat aku merinding, apalagi merasakan ‘hampir mati’. Kata Mak Ijah lagi sakitku ini karena akumulasi sakit maag akut dan masuk angin, ditambah kafein yang  berlebihan, kurang olah raga, terlalu banyak pikiran, stress, dan posisi kipas angin yang mengarah tepat ke kasurku. Wooooww, Mak ijah harus mendapatkan gelar dokter kehormatan atas diagnosanya yang begitu menyeluruh. Dan aku harus mendapatkan gelar idiot millenium karena menciptakan penyakit dahsyat dari gabungan gaya hidup dan desain kamarku yang amburadul.

            Tapi ada hikmah dibalik setiap kejadian, setidaknya aku sekarang lebih menghargai makanan yang masuk ke dalam perutku, menakarnya dengan jumlah yang tepat dan lebih terjadwal. Tapi untuk urusan kafein dan begadang, jangan harap aku mau mengubahnya. Kipas angin yang selama ini kuanggap dewa penolong mengusir gerah yang ternyata diam-diam menyamar jadi malaikat mautku sudah aku buang. Catat ya, BUANG, setelah sebelumnya aku hancurkan. Aku tak berniat untuk menyumbangkan kipas angin itu kepada siapapun, mengingat daya mematikannya yang hebat. Laika seperti mengerti kata-kata yang di maksudkan oleh Mak Ijah, seiap jam lima pagi dia selalu membangunkan aku, menyalak-nyalak keras, dan tidak akan berhenti sebelum aku mengajaknya berjalan-jalan berkeliling komplek, seperti olah raga saja. Tapi itu benar-benar membantu mempercepat kesembuhanku.

            Suatu ketika saat kami sedang jalan-jalan pagi, dengan  perasaan enggan dan mata masih mengantuk kami melewati sebuah tikungan. Ada seekor anjing besar di sana. Menatap tajam ke arah kami. Walaupun aku memelihara seekor anjing, tetap saja kontak  terbaikku dengan anjing hanya dengan Laika. Tidak lebih. Dan anjing yang ada di tikungan ini, jelas-jelas jantan, tampak agresif, besar dan menatap dengan tajam ke arah kami. Badanku lemas. Anjing itu mendekat, mendengus-dengus. Laika pun melakukan hal yang sama. Adegan ini berlangsung selama hampir satu menit. Lalu keteganganpun mengendur, si jantan mudur perlahan dan kami bisa lewat dengan selamat.

            Tapi semenjak kejadian tersebut Laika menjadi berubah, dia menjadi sedikit lebih pemurung, gerakan-gerakannya kadang tidak bisa aku prediksi, kadang dia begitu emosional, kadang tampak terlihat sangat sedih. Puncaknya terjadi saat aku mencetak tulisanku pada mesin printer. Mesin printer-ku yang sudah tua itu seperti biasa mengeluarkan suara keras yang menggganggu, Laika tiba-tiba meresponnya dengan gerakan yang ekstrim, dia melampat, aku kaget dan terjengkang, mesin printer terguling dan acara cetak-mencetakku malam itu gagal. Aku marah, aku nasehati Laika, entah dia mengerti atau tidak. Tapi aku melihat bahwa Laika tidak ada di sana. Tatapan matanya kosong. Aku sadar sesuatu, pagi itu, tikungan itu, anjing jantan itu: Laika sedang jatuh cinta dengan anjing besar yang ditemuinya di tikungan tempo hari. Dengan naluri keibuanku aku memegang dan membelai lembut kepalanya lalu membisikan kata-kata di telinganya, 

            “Kejarlah Sayang, aku tidak apa-apa di sini. Aku akan baik-baik saja.”

            Dia menatap mataku lekat-lekat, meminta kepastian. Aku menggangguk yakin. Perlahan dia berbalik lalu berjalan ke arah jendela. Dia menoleh padaku, aku mengangguk sekali lagi berusaha memastikan. Dengan satu gerakan yang tangkas dia melompat dan menghilang di balik jendela. Hatiku hancur. Aku menangis. Aku merasakan perasaan seorang ibu saat anak gadisnya menikah dan harus pergi meninggalkannya dengan  lelaki pilihannya. 

            Sudah hampir dua minggu sejak pertemuan terakhirku dengan Laika, sekarang segalanya terasa berjalan dengan lambat. Aku kehilangan, ada bagian dari jiwaku yang hilang, tapi aku tak mau mencarinya. Ada bagian dari hatiku yang rusak, tapi aku tidak berusaha mengobatinya. Biar sajalah.

            Pagi itu aku bangun subuh seperti biasanya, dengan perasaan enggan tapi sudah jadi kebiasaan. Aku berusaha ke luar mencari udara segar. Aku buka pintu dan menemukan Laika di sana duduk dengan khidmat menghadap ke arahku. Aku terbengong-bengong sambil mengucek-ngucek mataku, dan berharap itu bukan halusinasi. Iya benar, ini bukan halusinasi, dan Laika terduduk di sana, persis seperti tiga tahun yang lalu, dengan tubuhnya yang kurus. Dia pasti kurang makan selama dua minggu ini. Aku berjongkok dan Laika melompat memelukku. Lidahnya liar menjilati wajahku, aku diamkan saja. Dia pasti benar-benar merasa kangen padaku, aku juga. Aku mengalami déjà vu seperti tiga tahun lalu. Aku menangis lagi. Kali ini aku merasakan seperti perasaan seorang ibu yang mendapatkan anaknya kembali setelah hilang lama di perantauan. Hatiku terlalu sering bercambuk aduk beberapa minggu ini.

            Laika hamil. Itulah yang dikatakan salah seorang temanku saat menyadari keadaan Laika sekarang sedikit lebih gemuk, tapi gemuknya tidak normal, bagian perutnya lebih menonjol. Gerakannyapun sekarang menjadi lebih lamban, tidak tangkas seperti biasanya. Acara jalan pagi-pagipun harus aku coret dari daftarku karena tampaknya Laika keadaannya jadi sedikit lebih lemah. Aku khawatir.

            Waktu itu tengah malam, dan aku mendengar suara Laika seperti orang yang kesakitan, ada banyak ceceran darah di lantai kamarku, dan Laika sedang meringkuk di pojok kamar. Kelahiran, batinku dalam hati. Tapi sekarang baru memasuki usia keandungan satu bulan, tidak mungkin Laika melahirkan secepat ini. Keguguran. Aku panik, aku menemukan dua ekor anak anjing tergeletak dalam dekapan Laika, aku perhatikan, mereka tak bernafas. Mati. Bentuknya masih belum sempurna. Aku menatap mata Laika. Ada kesedihan di sana. Dia menangis. Ya, Tuhan. Aku cepet-cepat menggendong Laika meletakkannya pada selimutku. Aku takut dia kedinginan di lantai. Dia tergeletak lemah di atas selimut, tapi matanya terus menatap pada dua ekor anaknya yang sudah mati. Aku mengerti, dengan perasaan setengah jijik aku angkat kedua anaknya dan aku teruh dekat Laika. Laika mengeluarkan suara seperti mengiba-iba. Aku tahu dia sedang merasakan perasaan kehilangan yang sangat dalam. Apa yang lebih menyedihkan dari pada mendapatkan kenyataan anak kita mati sebelum sempat hidup, aku sadar betul itu. Aku mendiamkan mereka sampai Laika lelah dan tertidur.

            Paginya Laika terbangun, tubuhnya sedikit lebih kuat sekarang, dia mencari-cari anaknya. Aku menggendongnya, mengajaknya ke halaman belakang, di sanalah aku kuburkan kedua anak Laika. Laika berusaha turun dari gendonganku. Dengan perlahan dia berjalan ke arah kuburan kedua anaknya. Dia terduduk. Aku hanya bisa menyaksikan momen yang menyedihkan ini dari belakang. Aku merasa seperti seorang ibu yang kehilangan anak. Aku menangis. Aku dan Laika seperti terkoneksi secara batin, saat dia sedih justru aku yang menangis. Aku menamakan dua anak Laika: Mumu dan Miu, seperti nama yang ingin diberikan sahabatku dulu pada Laika.

            Tahun-tahun berlalu, pelan-pelan Laika mulai bisa melupakan kesedihannya. Tapi dia tidak pernah mau beranak lagi. Entah karena trauma atau rahimnya memang sudah tidak bisa menghasilkan anak. Tapi itu tidak mengurangi sedikitpun rasa cintanya pada anak-anaknya yang sudah mati, kadang aku mengintip saat malam ke arah kuburan anak Laika. Aku sering menemukan Laika di sana. Dia duduk dengan takzim, seolah-oleh sedang berbicara dengan anak-anaknya, atau mungkin dia sedang berdoa. Apa mungkin binatang juga berdoa? Entahlah.

            Saat Laika menginjak usia enam tahun aku memutuskan untuk pindah rumah. Pindah ke sebuah rumah terpencil yang sedikit jauh di tepi hutan. Untuk mencapai peradaban terdekat saja butuh waktu berkendara setidaknya satu jam. Tapi aku merasa nyaman di sini, suasananya masih terasa asri, udaranya segar, Laika pun tampak nyaman tinggal di sini.
            Suatu hari saat aku dan Laika duduk-duduk di beranda rumah kami mendengar ada suara yang mencurigakan di balik semak-semak. Laika langsung menghambur, mencoba mengecek keadaan. Aku yang khawatir dengan keselamatan Laika juga ikut mengejarnya. Di balik semak-semak kami menemukan seekor bayi rusa yang ketakutan dan tampaknya kelaparan. Aku menarik Laika, mengajaknya masuk ke dalam. Aku khawatir ada induk rusa di dekat situ yang merasa terancam lalu menyerang kami, malamnya kami masih mendengar suara tangisan dari bayi rusa tersebut, kami tidak bisa tidur, antara rasa takut, khawatir dan cemas akan keselamatan bayi rusa. Dengan kebulatan tekad kami putuskan untuk mengmbil bayi rusa tersebut. Setidaknya kami menyelamatkan dia dari pemangsa, dan jika induknya datang akan kami kembalikan.

            Bayi rusa itu begitu lemah, tubuhnya kurus dan kedinginan. Aku memberinya susu bubuk, entahlah benar atau tidak, yang penting itu bisa menyelamatkan nyawa bayi rusa ini untuk sementara waktu. 

            Esok paginya anak rusa itu terlihat jauh lebih segar, aku menaruhnya kembali ke semak-semak tempat dia kami temukan semalam, dengan harapan induknya akan menemukannya. Tapi bayi rusa itu kembali menangis, aku diamkan saja. Satu jam berlalu, tak ada tanda-tanda bayi rusa itu akan ditemukan induknya, tangisannya semakin menyedihkan. Lagi-lagi nuraniku yang berbicara, akan kuadopsi juga bayi rusa ini seperti aku mengadopsi Laika. Aku melupakan satu hal, aku mengadopsi dua hewan yang bertolak belakang, Laika yang karnovora dan Titi yang herbivora. Iya, Titi. Aku menamakan anak rusa itu Titi, tanpa alasan yang jelas, yang pasti anak rusa ini memiliki titik-titik berwarna putih pada punggungnya, makanya aku namakan dia Titi.

            Semula aku khawatir dengan keadaan Titi jika dia berada dekat-dekat dengan Laika, aku takut suatu ketika Laila berubah jadi agresif dan memangsa Titi. Tapi selama hampir dua bulan aku mengadopsi mereka semua baik-baik saja, mereka selalu tampak akur. Laika berlaku seperti ibu bagi Titi, mereka sering bermain bersama, makan di piring yang sama, walau dengan menu yang berbeda tentunya. Tak jarang juga aku menemukan Laika tertidur sambil memeluk Titi. Kadang aku terharu membayangkan dua ekor hewan yatim piatu yang kini aku adopsi itu bisa begitu saling menyayangi, apakah karena mereka merasa senasib sebagai hewan yatim piatu yang harus kehilangan orang tua mereka saat mereka masih bayi? Entahlah. 

            Menjelang awal tahun kedua Titi tinggal bersama kami dia mulai tidak betah untuk tidur di dalam rumah, dia memilih  untuk tidur di halaman rumah yang ditumbuhi banyak rumput dan semak-semak. Aku berpikir tidak masalah, karena habitat Titi aslinya memang di dalam hutan, dan tidur di alam terbuka adalah tabiat aslinya.                    

            Sampai suatu ketika di awal bulan oktober aku dan Laika tidak menemukan Titi di halaman, aku berpikir mungkin dia sedikit berjalan-jalan ke dalam hutan untuk mencari suasana baru, tapi sampai sore Titi belum pulang juga. Aku mulai merasa khawatir. 

            Keesokan paginya aku dan Laika memutuskan untuk mencari Titi, kami mulai mencari ke sekitar  rumah. Nihil. Siangnya kami mencoba memperluas area pencarian kami sedikit lebih jauh ke dalam hutan. Tetap nihil. Kecemasanku berubah menjadi putus asa. Minimal aku harus bisa menemukan sisa-sisa jasad Titi kalau memang ia dimangsa binatang buas, pikirku.

            Tak terasa dua minggu sudah aku dan Laika keluar masuk hutan untuk mencari Titi. Pada detik itu aku sudah putus asa dan memutuskan menghentikan pencarian. Dan hidupku dan Laikapun kembali normal seperti sebelum kehadiran Titi dalam hidup kami. Setidaknya semua berjalan seperti biasanya sampai pada suatu ketika, pada sore yang berangin di awal bulan November, aku dan Laika sedang duduk-duduk di  beranda sambil menikmati suasana sore kami. Tiba-tiba Laika berdiri dan menunjukkan gerakan was-was. Kedua telinganya mengacung tinggi mencoba menangkap suara-suara dari balik hutan. Dengan gerakan yang sangat cekatan dia melompat ke halaman dan berlari sekencang-kencangnya menuju ke dalam hutan. Dengan gerakan reflek aku bangun dan ikut mengejar Laika, tanpa tahu apa yang berusaha dia kejar. Dari balik pepohonan aku melihat ada seekor rusa betina yang juga berlari kencang ke arah kami, Laika menyambutnya dengan melompat, mereka bertubrukan, saling mencakar dan menggigit, mereka berguling-guling….. aku menangis lagi, Titi pulang. Setelah melupakan pencarian yang tak ada hasil akhirnya Titi pulang, dia sehat, sedikit kurus, tapi perutnya terlihat sedikit gendut. Dia hamil.

            Aku terlontar kembali pada kejadian beberapa tahun lalu saat Laika hamil dan berbuah pahit saat Laika keguguran. Aku khawatir Titi mengalami hal yang sama, tapi apa yang bisa aku lakukan, dokter hewan jauh jaraknya dari sini. Aku hanya bisa berusaha melakukan yang terbaik untuk Titi, memberinya makanan yang segar dan memastikan dia tidak stress. Itu saja. Selebihnya aku hanya bisa berdoa agar Titi dan bayi yang dikandungnya akan sehat.

            Tapi tampaknya Laika berlaku lebih jauh dari aku, tak jarang aku melihat Laika mengawasi Titi yang sedang merumput, khawatir ada pemangsa yang akan menyerang Titi, atau saat udara di luar dingin sering kulihat Laika diam-diam ke luar, menemui Titi dan tidur sambil mememluk Titi, untuk sekadar menghangatkan tubuh Titi. Laika menjadi protektif dan berlaku seperti ibu bagi Titi.

            Akhirnya saat itu datang juga, Titi menghilang. Laika senewen. Kami mencari lagi, dan lagi, tak ketemu. Kami pasrah. Laika menjadi uring-uringan. Sering kulihat dia keluar masuk hutan sendirian berusaha mencari Titi. Aku tak mengerti apa yang dipikirkan seekor rusa kalau dia mau melahirkan. Dari data yang kubaca di internet, rusa memang berlaku seperti itu saat mau melahirkan. Mereka akan menghilang untuk sementara waktu, mencari tempat yang aman untuk melahirkan dan membesarkan anaknya. Setidaknya aku berharap itu yang terjadi pada Titi. Dan Laika, aku biarkan saja dia menikmati kegalauannya.

            Hampir satu bulan Titi menghilang, Laika sudah mulai tenang, Justru malah aku yang merasa bimbang, apakah Titi berhasil survive? Aku merasa gamang. Antara perasaan harap dan cemas. Aku pernah sekali kehilangan Laika saat dia mengejar jantannya, aku menangis. Aku pernah melihat Laika kehilangan anak-anaknya, aku juga menagis. Tapi untuk kali ini kuputuskan apa pun yang terjadi aku tak akan pernah menangis lagi.

            Pagi itu aku masih malas bangun, cuacanya benar-benar dingin. Tapi Laika tidak ada di dekat ranjangku. Aku memakai jaketku dan berjalan ke luar. Laika ada di sana sambil menatap ke halaman, pandangan matanya teduh. Lidahnya dia julur-julurkan seolah menanti sesuatu dari balik semak-semak.

            Perlahan-lahan semak-semak bergoyang pelan dan ada seekor anak rusa ke luar dengan langkah masih tertatih-tatih, pandangannya menyelidik ke arah Laika, dengan ukuran sekecil itu anak rusa tersebut pasti berpikir kalau Laika dengan bulu hitamnya pasti adalah seekor beruang. Perlahan anak rusa yang ke dua juga keluar, langkahnya sama tertatih dan canggung. Laika tetap duduk dengan sabar sambil memerhatikan anak-anak rusa tersebut. Aku hanya diam mencoba meraba-raba apa yang sedang terjadi, dan….. muncullah Titi, berjalan dengan sangat anggun, dimahkotai status barunya sebagai: Ibu. Dia perlahan berjalan ke arah kami diikuti kedua anaknya. Laika bangun, tapi gerakannya tetap lembut, khawatir menakuti anak-anak Titi. 

            Itu terjadi begitu saja, sama seperti kedatangan anak dan cucu ke rumah nenek saat hari lebaran, begitu mengharukan. Begitu magis. Pertanyaanku terjawab sudah, Titi berhasil survive. Laika menghampiri Titi. Titi mengelus-eluskan kepalanya ke tubuh Laika seperti seorang anak yang mengharapkan restu dari ibunya. Anak-anak Titi perlahan mendekati Laika. Laika dengan lembut menjilati punggung mereka. Aku masih berdiri. 

            Aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Setelah mengalami banyak kehilangan dan perisitiwa mengharukan ini aku tak akan pernah menangis lagi. Tapi kini aku dihadapkan pada momen yang sangat tragis, aku berada di antara mereka. Laika, Miu, Mumu, Titi, Sarah dan Luna. Itulah nama yang aku  berikan untuk kedua anak Titi. Seperti nama yang pernah disarankan temanku untuk Laika.

            Aku berada di antara mereka, aku seperti ibu untuk Laika, Laika seperti Ibu untuk Titi, dan Titi adalah ibu untuk Sarah dan Luna. Aku terjebak dalam untaian cinta dalam kerajaan binatang. Aku terharu. Dadaku sesak serasa mau meledak. Aku menangis sejadi-jadinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s