Kunamai dia Laika, seekor anak
anjing kampung yang kutemukan sedang tertidur di atas keset pintu depanku.
Waktu itu hampir masuk waktu subuh, keadaan masih remang-remang. Aku tak
sengaja menginjak tubuh anak anjing itu. Dia meyalak keras, suaranya lebih
seperti gabungan antara rasa sakit dan permohonan untuk diizinkan tidur di
depan pintu rumahku daripada sebuah ancaman karena tubuhnya terinjak olehku.
Tapi karena aku tidak pernah terbiasa dengan seekor anjing tetap saja aku
melompat menghindar menjaga jarak aman dari jangkauannya. Tubuh Laika berwarna
hitam gelap. Hanya ada sedikit warna putih kecoklatan di bawah lehernya.
Tubuhnya sangat kurus. Dia menatap mataku dalam. Entah karena aku yang masih
setengah mengantuk atau karena naluri kemanusiaanku, aku merasa kasihan pada
anak anjing itu. Aku memelihara dia, padahal seumur hidup aku tidak pernah
memelihara hewan apapun, apalagi seekor anjing.
Perlahan
anak anjing itu tumbuh menjadi seekor anjing betina dewasa yang sehat. Aku
memang terlalu bodoh untuk memberi nama, jadi kunamai saja dia Laika. Laika
adalah nama seekor anjing Rusia yang pertama kali pergi ke luar angkasa, namun
sayang perjalanan dalam rangka penelitian untuk kebaikan umat manusia itu harus
ditebus dengan nyawanya. Untuk mengenang anjing Rusia itu maka kuberi nama
anjingku Laika. Padahal teman-temanku pernah menyarankan nama yang jauh lebih
bagus, ada yang menyarankan memberi nama Miu, Momo, Sarah, Luna…. Well, dua nama terakhir jelas-jelas
tidak akan kupilih karena terlalu berbau nama manusia.
Tiga
tahun sejak pertemuan kami yang mendebarkan di depan pintu pada subuh temaram
yang membuatku sport jantung itu,
Laika kini seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hari-hariku. Aku
bekerja sebagai seorang penulis
dan dengan setianya Laika selalu duduk di bawah ranjangku setiap malam saat aku
menyelesaikan tulisanku. Dia seperti penjagaku. Pernah suatu hari aku merasakan
sakit pada perutku, sakit yang sangat hebat, perutku seperti diperas. Aku tidak
bisa bangun dari tempat tidurku. Aku mau berteriak tapi suaraku rasanya tidak
bisa keluar, aku hanya bisa menangis, itupun tanpa suara, hanya berupa
rintihan-rintihan saja. Laika yang menyadari ada yang tidak wajar dengan diriku
segera melompat keluar melalui jendela, aku dengan segenap tenaga yang aku
punya mencoba menggapai-gapai ke arah jendela. Saat aku butuh pertolongan
seperti ini kenapa dia malah pergi, dasar binatang tak tahu terima kasih,
batinku. Lima menit berlalu tapi sakit di perutku malah semakin bertambah
hebat, mau mati saja rasanya. Lalu aku mendengar suara orang-orang ramai di
depan pintuku, tapi apa dayaku. Bersuara saja aku tak bisa, apalagi berteriak
meminta pertolongan. Lalu aku mendengar suara pintuku didobrak paksa,
pandanganku sudah mulai samar tertutup rasa sakit dan airmata yang sedari tadi
mengambang di pelupuk mataku. Dalam pandangan mataku yang buram itu aku melihat
beberapa orang tetanggaku datang. Alhamdulillah,
batinku. Aku melihat mereka yang sedang panik mencoba menebak-nebak apa yang
terjadi padaku, dan aku melihat Laika ada di sana. Ternyata dia melompat
melalui jendela karena tahu ada yang salah dengan tuannya dan berusaha mencari
pertolongan, air mataku semakin tumpah ruah. Pandangan mataku semakin buram.
Aku semaput.
Aku
terbangun dengan mata disipit-sipitkan karena silau dengan cahaya yang ada di
sekelilingku. Aku melihat Mak Ijah sedang menempelkan botol minyak kayu putih ke hidungku
sambil tangannya mengurut-urut perutku dengan pelan. Beberapa orang lagi sedang
memijit-mijit ujung kakiku. Rasa sakit di perutku sudah hilang. Aku memutar
pandangan, mencari Laika. Dia ada di sudut dengan pandangan khawatir dan
was-was, dia memantau semua kegiatan yang terjadi di dalam kamarku. Aku
benar-benar berterima kasih padanya. Kalau tidak ada dia aku pasti sudah mati.
Diagnosa
Mak Ijah menyatakan kalau aku menderita penyakit angin duduk, atau apalah
namanya. Intinya berbahaya dan bisa bikin mati. Huh, mendengar kata-kata mati saja sudah membuat aku merinding,
apalagi merasakan ‘hampir mati’. Kata Mak Ijah lagi sakitku ini karena
akumulasi sakit maag akut dan masuk
angin, ditambah kafein yang berlebihan,
kurang olah raga, terlalu banyak pikiran, stress,
dan posisi kipas angin yang mengarah tepat ke kasurku. Wooooww, Mak ijah harus mendapatkan gelar dokter kehormatan atas
diagnosanya yang begitu menyeluruh. Dan aku harus mendapatkan gelar idiot
millenium karena menciptakan penyakit dahsyat dari gabungan gaya hidup dan
desain kamarku yang amburadul.
Tapi
ada hikmah dibalik setiap kejadian, setidaknya aku sekarang lebih menghargai
makanan yang masuk ke dalam perutku, menakarnya dengan jumlah yang tepat dan
lebih terjadwal. Tapi untuk urusan kafein dan begadang, jangan harap aku mau
mengubahnya. Kipas angin yang selama ini kuanggap dewa penolong mengusir gerah yang
ternyata diam-diam menyamar jadi malaikat mautku sudah aku buang. Catat ya,
BUANG, setelah sebelumnya aku hancurkan. Aku tak berniat untuk menyumbangkan
kipas angin itu kepada siapapun, mengingat daya mematikannya yang hebat. Laika
seperti mengerti kata-kata yang di maksudkan oleh Mak Ijah, seiap jam lima pagi
dia selalu membangunkan aku, menyalak-nyalak keras, dan tidak akan berhenti
sebelum aku mengajaknya berjalan-jalan berkeliling komplek, seperti olah raga
saja. Tapi itu benar-benar membantu mempercepat kesembuhanku.
Suatu
ketika saat kami sedang jalan-jalan pagi, dengan perasaan enggan dan mata masih mengantuk kami
melewati sebuah tikungan. Ada seekor anjing besar di sana. Menatap tajam ke
arah kami. Walaupun aku memelihara seekor anjing, tetap saja kontak terbaikku dengan anjing hanya dengan Laika.
Tidak lebih. Dan anjing yang ada di tikungan ini, jelas-jelas jantan, tampak
agresif, besar dan menatap dengan tajam ke arah kami. Badanku lemas. Anjing itu
mendekat, mendengus-dengus. Laika pun melakukan hal yang sama. Adegan ini
berlangsung selama hampir satu menit. Lalu keteganganpun mengendur, si jantan
mudur perlahan dan kami bisa lewat dengan selamat.
Tapi
semenjak kejadian tersebut Laika menjadi berubah, dia menjadi sedikit lebih
pemurung, gerakan-gerakannya kadang tidak bisa aku prediksi, kadang dia begitu
emosional, kadang tampak terlihat sangat sedih. Puncaknya terjadi saat aku
mencetak tulisanku pada mesin printer.
Mesin printer-ku yang sudah tua itu
seperti biasa mengeluarkan suara keras yang menggganggu, Laika tiba-tiba
meresponnya dengan gerakan yang ekstrim, dia melampat, aku kaget dan
terjengkang, mesin printer terguling
dan acara cetak-mencetakku malam itu gagal.
Aku marah, aku nasehati Laika, entah dia mengerti atau tidak. Tapi aku melihat
bahwa Laika tidak ada di sana. Tatapan matanya kosong. Aku sadar sesuatu, pagi
itu, tikungan itu, anjing jantan itu: Laika sedang jatuh cinta dengan anjing
besar yang ditemuinya di tikungan tempo hari. Dengan naluri keibuanku aku
memegang dan membelai lembut kepalanya lalu membisikan kata-kata di telinganya,
“Kejarlah
Sayang, aku tidak apa-apa di sini. Aku
akan baik-baik saja.”
Dia
menatap mataku lekat-lekat, meminta kepastian. Aku menggangguk yakin. Perlahan
dia berbalik lalu berjalan ke arah jendela. Dia menoleh padaku, aku mengangguk
sekali lagi berusaha memastikan. Dengan satu gerakan yang tangkas dia melompat
dan menghilang di balik jendela. Hatiku hancur. Aku menangis. Aku merasakan
perasaan seorang ibu saat anak gadisnya menikah dan harus pergi meninggalkannya
dengan lelaki pilihannya.
Sudah
hampir dua minggu sejak pertemuan terakhirku dengan Laika, sekarang segalanya
terasa berjalan dengan lambat. Aku kehilangan, ada bagian dari jiwaku yang
hilang, tapi aku tak mau mencarinya. Ada bagian dari hatiku yang rusak, tapi
aku tidak berusaha mengobatinya. Biar sajalah.
Pagi
itu aku bangun subuh seperti biasanya, dengan perasaan enggan tapi sudah jadi
kebiasaan. Aku berusaha ke luar mencari udara segar. Aku buka pintu dan menemukan
Laika di sana duduk dengan khidmat menghadap
ke
arahku. Aku terbengong-bengong sambil mengucek-ngucek mataku, dan berharap itu
bukan halusinasi. Iya benar, ini bukan halusinasi, dan Laika terduduk di sana,
persis seperti tiga
tahun yang lalu, dengan tubuhnya yang kurus. Dia pasti kurang makan selama dua
minggu ini. Aku berjongkok dan Laika melompat memelukku. Lidahnya liar
menjilati wajahku, aku diamkan saja. Dia pasti benar-benar merasa kangen
padaku, aku juga. Aku mengalami déjà vu
seperti tiga tahun lalu. Aku menangis lagi. Kali ini aku merasakan seperti
perasaan seorang ibu yang mendapatkan anaknya kembali setelah hilang lama di
perantauan. Hatiku terlalu sering bercambuk aduk beberapa minggu ini.
Laika
hamil. Itulah yang dikatakan salah seorang temanku saat menyadari keadaan Laika
sekarang sedikit lebih gemuk, tapi gemuknya tidak normal, bagian perutnya lebih
menonjol. Gerakannyapun sekarang menjadi lebih lamban, tidak tangkas seperti
biasanya. Acara jalan pagi-pagipun harus aku coret dari daftarku karena tampaknya
Laika keadaannya jadi sedikit lebih lemah. Aku khawatir.
Waktu
itu tengah malam, dan aku mendengar suara Laika seperti orang yang kesakitan,
ada banyak ceceran darah di lantai kamarku, dan Laika sedang meringkuk di pojok
kamar. Kelahiran, batinku dalam hati. Tapi sekarang baru memasuki usia
keandungan satu bulan, tidak mungkin Laika melahirkan secepat ini. Keguguran.
Aku panik, aku menemukan dua ekor anak anjing tergeletak dalam dekapan Laika,
aku perhatikan, mereka tak bernafas. Mati. Bentuknya masih belum sempurna. Aku
menatap mata Laika. Ada kesedihan di sana. Dia menangis. Ya, Tuhan. Aku
cepet-cepat menggendong Laika meletakkannya pada selimutku. Aku takut dia
kedinginan di lantai. Dia tergeletak lemah di atas selimut, tapi matanya terus
menatap pada dua ekor anaknya yang sudah mati. Aku mengerti, dengan perasaan
setengah jijik aku angkat kedua anaknya dan aku teruh dekat Laika. Laika
mengeluarkan suara seperti mengiba-iba. Aku tahu dia sedang merasakan perasaan
kehilangan yang sangat dalam. Apa yang lebih menyedihkan dari pada mendapatkan
kenyataan anak kita mati sebelum sempat hidup, aku sadar betul itu. Aku
mendiamkan mereka sampai Laika lelah dan tertidur.
Paginya
Laika terbangun, tubuhnya sedikit lebih kuat sekarang, dia mencari-cari
anaknya. Aku menggendongnya, mengajaknya ke halaman belakang, di sanalah aku
kuburkan kedua anak Laika. Laika berusaha turun dari gendonganku. Dengan
perlahan dia berjalan
ke arah kuburan kedua anaknya. Dia terduduk. Aku hanya bisa menyaksikan momen
yang menyedihkan ini dari belakang. Aku merasa seperti seorang ibu yang
kehilangan anak. Aku menangis. Aku dan Laika seperti terkoneksi secara batin,
saat dia sedih justru aku yang menangis. Aku menamakan dua anak Laika: Mumu dan Miu, seperti nama yang ingin
diberikan sahabatku dulu pada Laika.
Tahun-tahun
berlalu, pelan-pelan Laika mulai bisa melupakan kesedihannya. Tapi dia tidak
pernah mau beranak lagi. Entah karena trauma atau rahimnya memang sudah tidak
bisa menghasilkan anak. Tapi itu tidak mengurangi sedikitpun rasa cintanya pada
anak-anaknya yang sudah mati, kadang aku mengintip saat malam ke arah kuburan
anak Laika. Aku sering menemukan Laika di sana. Dia duduk dengan takzim,
seolah-oleh sedang berbicara dengan anak-anaknya, atau mungkin dia sedang
berdoa. Apa mungkin binatang juga berdoa? Entahlah.
Saat
Laika menginjak usia enam tahun aku memutuskan untuk pindah rumah. Pindah ke
sebuah rumah terpencil yang sedikit jauh di tepi hutan. Untuk mencapai
peradaban terdekat saja butuh waktu berkendara setidaknya satu jam. Tapi aku
merasa nyaman di sini, suasananya masih terasa asri, udaranya segar, Laika pun
tampak nyaman tinggal di sini.
Suatu
hari saat aku dan Laika duduk-duduk di beranda rumah kami mendengar ada suara
yang mencurigakan di balik semak-semak. Laika langsung menghambur, mencoba
mengecek keadaan. Aku yang khawatir dengan keselamatan Laika juga ikut
mengejarnya. Di balik semak-semak kami menemukan seekor bayi rusa yang
ketakutan dan tampaknya kelaparan. Aku menarik Laika, mengajaknya masuk ke
dalam. Aku khawatir ada induk rusa di dekat situ yang merasa terancam lalu
menyerang kami, malamnya kami masih mendengar suara tangisan dari bayi rusa
tersebut, kami tidak bisa tidur, antara rasa takut, khawatir dan cemas akan
keselamatan bayi rusa. Dengan kebulatan tekad kami putuskan untuk mengmbil bayi
rusa tersebut. Setidaknya kami menyelamatkan dia dari pemangsa, dan jika
induknya datang akan kami kembalikan.
Bayi
rusa itu begitu lemah, tubuhnya kurus dan kedinginan. Aku memberinya susu
bubuk, entahlah benar atau tidak, yang penting itu bisa menyelamatkan nyawa
bayi rusa ini untuk sementara waktu.
Esok
paginya anak rusa itu terlihat jauh lebih segar, aku menaruhnya kembali ke
semak-semak tempat dia kami temukan semalam, dengan harapan induknya akan
menemukannya. Tapi bayi rusa itu kembali menangis, aku diamkan saja. Satu jam berlalu,
tak ada tanda-tanda bayi rusa itu akan ditemukan induknya, tangisannya semakin
menyedihkan. Lagi-lagi nuraniku yang berbicara, akan kuadopsi juga bayi rusa
ini seperti aku mengadopsi Laika. Aku melupakan satu hal, aku mengadopsi dua
hewan yang bertolak belakang, Laika yang karnovora dan Titi yang herbivora.
Iya, Titi. Aku menamakan anak rusa itu Titi, tanpa alasan yang jelas, yang
pasti anak rusa ini memiliki titik-titik berwarna putih pada punggungnya,
makanya aku namakan dia Titi.
Semula
aku khawatir dengan keadaan Titi jika dia berada dekat-dekat dengan Laika, aku
takut suatu ketika Laila berubah jadi agresif dan memangsa Titi. Tapi selama
hampir dua bulan aku mengadopsi mereka semua baik-baik saja, mereka selalu
tampak akur. Laika berlaku seperti ibu bagi Titi, mereka sering bermain
bersama, makan di piring yang sama, walau dengan menu yang berbeda tentunya.
Tak jarang juga aku menemukan Laika tertidur sambil memeluk Titi. Kadang aku
terharu membayangkan dua ekor hewan yatim piatu yang kini aku adopsi itu bisa
begitu saling menyayangi, apakah karena mereka merasa senasib sebagai hewan
yatim piatu yang harus kehilangan orang tua mereka saat mereka masih bayi?
Entahlah.
Menjelang
awal tahun kedua Titi tinggal bersama kami dia mulai tidak betah untuk tidur di
dalam rumah, dia memilih untuk tidur di
halaman rumah yang ditumbuhi banyak rumput dan semak-semak. Aku berpikir tidak
masalah, karena habitat Titi aslinya memang di dalam hutan, dan tidur di alam
terbuka adalah tabiat aslinya.
Sampai
suatu ketika di awal bulan oktober aku dan Laika tidak menemukan Titi di
halaman, aku berpikir mungkin dia sedikit berjalan-jalan ke dalam hutan untuk
mencari suasana baru, tapi sampai sore Titi belum pulang juga. Aku mulai merasa
khawatir.
Keesokan
paginya aku dan Laika memutuskan untuk mencari Titi, kami mulai mencari ke
sekitar rumah. Nihil. Siangnya kami
mencoba memperluas area pencarian kami sedikit lebih jauh ke dalam hutan. Tetap
nihil. Kecemasanku berubah menjadi putus asa. Minimal aku harus bisa menemukan
sisa-sisa jasad Titi kalau memang ia dimangsa binatang buas, pikirku.
Tak
terasa dua minggu sudah aku dan Laika keluar masuk hutan untuk mencari Titi.
Pada detik itu aku sudah putus asa dan memutuskan menghentikan pencarian. Dan
hidupku dan Laikapun kembali normal seperti sebelum kehadiran Titi dalam hidup
kami. Setidaknya semua berjalan seperti biasanya sampai pada suatu ketika, pada
sore yang berangin di awal bulan November,
aku dan Laika sedang duduk-duduk di
beranda sambil menikmati suasana sore kami. Tiba-tiba Laika berdiri dan
menunjukkan gerakan was-was. Kedua telinganya mengacung tinggi mencoba
menangkap suara-suara dari balik hutan. Dengan gerakan yang sangat cekatan dia
melompat ke halaman dan berlari sekencang-kencangnya menuju ke dalam hutan.
Dengan gerakan reflek aku bangun dan ikut mengejar Laika, tanpa tahu apa yang
berusaha dia kejar. Dari balik pepohonan aku melihat ada seekor rusa betina
yang juga berlari kencang ke arah kami, Laika menyambutnya dengan melompat,
mereka bertubrukan, saling mencakar dan menggigit, mereka berguling-guling…..
aku menangis lagi, Titi pulang. Setelah melupakan pencarian yang tak ada hasil
akhirnya Titi pulang, dia sehat, sedikit kurus, tapi perutnya terlihat sedikit
gendut. Dia hamil.
Aku
terlontar kembali pada kejadian beberapa tahun lalu saat Laika hamil dan
berbuah pahit saat Laika keguguran. Aku khawatir Titi mengalami hal yang sama,
tapi apa yang bisa aku lakukan, dokter hewan jauh jaraknya dari sini. Aku hanya
bisa berusaha melakukan yang terbaik untuk Titi, memberinya makanan yang segar
dan memastikan dia tidak stress. Itu
saja. Selebihnya aku hanya bisa berdoa agar Titi dan bayi yang dikandungnya
akan sehat.
Tapi
tampaknya Laika berlaku lebih jauh dari aku, tak jarang aku melihat Laika
mengawasi Titi yang sedang merumput, khawatir ada pemangsa yang akan menyerang
Titi, atau saat udara di luar dingin sering kulihat Laika diam-diam ke luar,
menemui Titi dan tidur sambil mememluk Titi, untuk sekadar menghangatkan tubuh
Titi. Laika menjadi protektif dan berlaku seperti ibu bagi Titi.
Akhirnya
saat itu datang juga, Titi menghilang. Laika senewen. Kami mencari lagi, dan lagi, tak ketemu. Kami pasrah.
Laika menjadi uring-uringan. Sering kulihat dia keluar masuk hutan sendirian
berusaha mencari Titi. Aku tak mengerti apa yang dipikirkan seekor rusa kalau
dia mau melahirkan. Dari data yang kubaca di internet, rusa memang berlaku
seperti itu saat mau melahirkan. Mereka akan menghilang untuk sementara waktu,
mencari tempat yang aman untuk melahirkan dan membesarkan anaknya. Setidaknya
aku berharap itu yang terjadi pada Titi. Dan Laika, aku biarkan saja dia
menikmati kegalauannya.
Hampir
satu bulan Titi menghilang, Laika sudah mulai tenang, Justru malah aku yang
merasa bimbang, apakah Titi berhasil survive?
Aku merasa gamang. Antara perasaan harap dan cemas. Aku pernah sekali kehilangan
Laika saat dia mengejar jantannya, aku menangis. Aku pernah melihat Laika
kehilangan anak-anaknya, aku juga menagis. Tapi untuk kali ini kuputuskan apa
pun yang terjadi aku tak akan pernah menangis lagi.
Pagi
itu aku masih malas bangun, cuacanya benar-benar dingin. Tapi Laika tidak ada
di dekat ranjangku. Aku memakai jaketku dan berjalan ke luar. Laika ada di sana
sambil menatap ke halaman, pandangan matanya teduh. Lidahnya dia julur-julurkan
seolah menanti sesuatu dari balik semak-semak.
Perlahan-lahan
semak-semak bergoyang pelan dan ada seekor anak rusa ke luar dengan langkah
masih tertatih-tatih, pandangannya menyelidik ke arah Laika, dengan ukuran sekecil
itu anak rusa tersebut pasti berpikir kalau Laika dengan bulu hitamnya pasti
adalah seekor beruang. Perlahan anak rusa yang ke dua juga keluar, langkahnya
sama tertatih dan canggung. Laika tetap duduk dengan sabar sambil memerhatikan
anak-anak rusa tersebut. Aku hanya diam mencoba meraba-raba apa yang sedang
terjadi, dan….. muncullah Titi, berjalan dengan sangat anggun, dimahkotai
status barunya sebagai: Ibu.
Dia perlahan berjalan ke arah kami diikuti kedua anaknya. Laika bangun, tapi
gerakannya tetap lembut, khawatir menakuti anak-anak Titi.
Itu
terjadi begitu saja, sama seperti kedatangan anak dan cucu ke rumah nenek saat
hari lebaran, begitu mengharukan. Begitu magis. Pertanyaanku terjawab sudah,
Titi berhasil survive. Laika
menghampiri Titi. Titi mengelus-eluskan kepalanya ke tubuh Laika seperti
seorang anak yang mengharapkan restu dari ibunya. Anak-anak Titi perlahan
mendekati Laika. Laika dengan lembut menjilati punggung mereka. Aku masih
berdiri.
Aku
sudah berjanji pada diriku sendiri. Setelah mengalami banyak kehilangan dan
perisitiwa mengharukan ini aku tak akan pernah menangis lagi. Tapi kini aku
dihadapkan pada momen yang sangat tragis, aku berada di antara mereka. Laika,
Miu, Mumu, Titi, Sarah dan Luna. Itulah nama yang aku berikan untuk kedua anak Titi. Seperti nama
yang pernah disarankan temanku untuk Laika.
Aku
berada di antara mereka, aku seperti ibu untuk Laika, Laika seperti Ibu untuk
Titi, dan Titi adalah ibu untuk Sarah dan Luna. Aku terjebak dalam untaian
cinta dalam kerajaan binatang. Aku terharu. Dadaku sesak serasa mau meledak.
Aku menangis sejadi-jadinya.
Komentar