Langsung ke konten utama

COGNAC, ASAP, GERIMIS DAN ESCADA



            Seorang sahabat  pernah berkata kepadaku bahwa Adam dan Hawa dulunya memiliki sepasang sayap, saat Tuhan mengusir mereka dari surga dan menghempaskan tubuh mereka ke bumi mereka terpencar di tempat yang berjauhan, dan masing-masing sebelah sayap mereka patah. Mereka hanya bisa kembali terbang ke surga apabila mereka berpelukan, karena hanya dengan berpelukan sayap mereka akan menjadi sempurna dan bisa digunakan untuk kembali terbang ke surga....... Entahlah...”

Suasana malam Jakarta di akhir Desember selalu muram, sejak sore hujan rintik-rintik turun. Suasana dalam bar lengang, hanya ada beberapa pengunjung yang berkerumun di pojok. Tidak meriah, mereka berbicara seperti berbisik satu sama lain menambah muram suasana bar dan asap-asap jemu keluar dari bibir mereka di antara bunyi gelas yang berdentingan. Televisi yang tergantung di dinding sebelah barat sejak sore menayangkan acara yang tidak menarik, monoton dan membosankan. Aku mempercepat kerjaku, memoles gelas-gelas yang baru saja aku cuci. Harapanku jelas sekali, pulang cepat dan lekas-lekas beristirahat. Keluar dari zona membosankan dalam bar kecil ini.

            Jarum jam menunjuk angka sebelas tepat. Satu jam lagi aku bisa bebas. Tamu yang tersisa tinggal dua orang dan dari gesture mereka menandakan akan segera pergi. Aku percepat lagi kerjaku, merapikan sisa tumpahan anggur dan abu rokok di atas meja. 

            “Hey! Terima kasih ya, selamat beristirahat.” Pengunjung terakhir berkata sambil beringsut bangun dari tempat duduknya. Dia mununjuk sesuatu yang dia tinggalkan di atas meja, segera merangkul pasangannya dan pergi. 

            Ting.

            Suara denting lonceng di atas pintu menandakan selesai sudah hari yang membosankan ini. Aku berbegas menuju meja tempat tamu terakhir duduk. Dia meninggalkan sejumlah uang tip. Lumayan, pikirku. Segera kurapikan mejanya. Dan bergegas menuju meja bar untuk mengambil kunci.

            Ting.

            Aku menoleh ke arah pintu. Ada seorang wanita dengan cardigan hitam masuk. Rambutnya yang hitam panjang terurai masih menandakan bekas biasan air hujan, wajahnya putih pucat, tapi aku tak bisa melihat matanya karena dia terus menunduk sampai duduk di depan meja bar.

            “Maaf nona.. Kami..”

            “Masih ada waktu satu jam sebelum tutup kan?” dia berbicara sambil menoleh ke arah jam dinding yang tergantung di atas televisi. Televisi itu, ya ampun, masih saja menayangkan acara yang membosankan.

            Dia benar, masih ada satu jam sebelum kami tutup. Aku hanya bisa mengangkat bahu.

            Cognac dua!” wanita itu berkata dengan suara yang berat dan dalam. Bukankah ini sudah terlalu malam untuk mabuk-mabukan? Pikirku dalam hati. Tapi pelanggan adalah raja, dengan perasaan enggan aku menyiapkan dua buah gelas di meja, mengeluarkan sebotol cognac dan menghampirinya. Bau parfum escada dengan cepat menguasai hidungku. Wanita ini benar-benar memiliki selera. Minum cognac tengah malam sambil berbusana serba hitam, ditambah parfum escada yang memiliki aroma hangat dalam suasana hujan. She’s electric.

            Aku menuangkan cognac ke dalam gelas pertama dan kedua. Tangannya yang berwarna pucat memegang tanganku, aku menatapnya, tapi mata itu tak terlihat, tertutup poni panjang dan wajahnya selalu meunduk.

            “Taruh saja botolnya di sini!”

            Wanita yang aneh. Aku malas kalau beberapa jam lagi harus membopong-bopong wanita mabuk sambil memanggilkan taksi dalam cuaca gerimis seperti ini.

            Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah buku jurnal. Aku hanya memperhatikan semua gerakannya sambil berpura-pura menonton televisi dengan volume rendah yang lagi-lagi terus menayangkan acara yang membosankan. Dia mengangkat gelas pertama dan langsung meminumnya sampai tandas, kepalanya terangkat ke belakang, hampir jatuh, matanya terpejam. Sekali lagi aku gagal menemukan matanya. Aku hanya memperhatikan. Gelas pertama dia taruh dan segera beralih ke  buku jurnal. Bibirnya tersenyum saat membuka lembaran-lembaran buku itu. Tapi senyumnya aneh, hambar dan terasa getir.

            Gelas kedua tandas sudah dengan sekali teguk. Aku menghampirinya dengan niat menuangkan cognac berikutnya ke dalam gelas. 

            “Ambillah kursi!” aku menurut. Aku ambil kursi dan duduk di atasnya. Sekarang kami berhadap-hadapan. Dia mengangkat wajahnya. Lehernya indah, jenjang dan berwarna gading. Aroma escada sekarang semakin menyeruak berpandu dengan aroma cognac yang liar namun lembut. Dia perlahan membuka matanya. Ya tuhan, ini pasti efek samping dari kerja yang membosankan. Aku pasti berhalusinasi. Aku pasti mabuk dan terbius oleh aroma cognac tanpa harus meminumnya. Matanya benar-benar indah, dalam, matanya berwarna hazel. Dia begitu cantik dengan rambut hitam panjang, leher jenjang dan warna mata hazel.

            “Kamu pernah jatuh cinta?” tanyanya tiba-tiba. Tangannya bergerak mengambil botol dan dengan cekatan menuangkannya ke dalam gelas. Dia tersenyum.

            “Minumlah!” katanya sambil menggeser satu gelas ke arahku.

            “Maaf, tapi ini tidak sopan, aku tidak boleh minum dari gelas tamu.”

            “Tidak apa-apa. Bukankah aku sendiri yang memintanya?” dia menggeser lagi gelas itu lebih dekat ke arahku.

            Aku menggapainya dan meminum sedikit. Aroma cognac yang kuat langsung memenuhi rongga mulutku. Aku minum lagi dengan tegukan yang lebih besar. Rongga dadaku sekarang terasa lebih hangat. Mataku terasa lebih terang dari sebelumnya.

            Dia mengeluarkan sebungkus rokok, mengambil sebatang dan menyulutnya dengan zippo, gerakannya benar-benar anggun. Dia menyorongkan bungkus itu ke arahku. Aku ambil sebatang dan menyelipkannya di bibirku. Dia menjulurkan tangannya. Rokok di bibirku tersulut. Asap mengepul-ngepul di antara kami. Dia tersenyum, kali ini senyumnya lebih bebas dan rileks. Indah sekali. Kami seperti dua sahabat lama yang bertahun-tahun tidak bertemu. Di hadapan sebotol cognac dan asap yang menggumpal-gumpal suasana menjadi lebih cair. 

            “Berapa umurmu?” tanyanya mencoba membuka percakapan.

            “Dua puluh tujuh, kamu?”

            “Dua puluh delapan. Siapa namamu?”

            “Nikki, dan kamu?”

            “Panggil saja aku Pharas.”

            “Nama yang cantik...”

            Dia menghisap rokoknya lebih dalam. Mengangkat gelasnya dan syukurlah kali ini dia lebih santai, dia menyesap air api itu perlahan lahan.

            “Kamu pernah jatuh cinta, Nikki?”

            “Beberapa kekasih....” kataku datar.

            “Aku tidak menanyakan kekasih atau pacar, aku menanyakan cinta?”

            “Apa bedanya?”

            “Cinta tidak butuh motif.”

            “Maksudnya?”

            “Kalau kamu mencintai seseorang dengan banyak keinginan berarti itu bukan cinta.”

            “Bukankah kalau kita mencintai seseorang juga pasti memiliki harapan dan tujuan dari hubungan tersebut?”

            “Itu bukan cinta.”

            “Bukankah tujuan akhir dari sebuah cinta adalah perkawinan. Bukankah itu juga sebuah motif?”

            “Itulah masalahnya....” dia menahan kata-katanya, mengangkat gelasnya lagi dan meminumnya. Kali ini sampai tandas. Aku menggelengkan kepala tapi anehnya melakukan hal yang sama. Sekarang gelas kami kosong. Cognac yang tersisa di botol tinggal sedikit. Aku berdiri dan  berjalan ke arah rak. Aku ambil satu botol cognac lagi. Mematikan beberapa lampu lalu kembali duduk. Sekarang suasana dalam bar sedikit temaram. Hujan di luar tambah deras, sangat tidak manusiawi meminta pelanggan pulang dalam cuaca seperti ini dan aku menikmati obrolannya. Aku duduk, dia menyulut rokoknya yang kedua.

            “Lanjutkan!” pintaku.

            Oke. Dengar baik-baik. Saat kamu bertemu cinta. Bukan kamu yang menemukannya tapi  dia yang menemukanmu.” Keningku berkerut mencoba memahami kata-katanya.

            “Kamu pasti lelah mencari-cari pasangan yang pas, mencocok-cocokkan zodiak, menyamakan selera, terjebak dalam surga palsu di awal hubungan yang setelah beberapa bulan berbalik seratus delapn puluh derajat menjadi neraka absolut yang segera mau kamu tinggalkan. Iya kan?”

            Aku mengangguk sambil membenarkan kata-katanya dalam hatiku. Semua perkataanya benar dan itulah yang memang selama ini aku rasakan.

            Aku menuangkan cognac ke dalam gelas kami.

            “Lalu menurutmu apa cinta sejati itu?” aku berbalik bertanya kepadanya.

            “Itu pertanyaan salah yang selalu diulang-ulang sepanjang masa.”

            “Maksudmu?”

            “Apa definisi Tuhan menurutmu?”

            Aku diam, menarik tubuhku ke belakang. Mencoba berpikir, beberapa kata melintas dalam kepalaku tapi selalu saja dibantah oleh suara lain yang keluar dari dalam hatiku. Otak dan hatiku tidak sinkron untuk mencari definisnya. Aku didera sebuah dilema. Pencarian definisi yang tanpa akhir. Sepuluh menit berlalu. Aku masih diam tidak bisa membuka suara, aku menyerah. Dia tersenyum dengan mata yang berbinar. Mata hazel-nya terlihat kebih terang. Aku terpesona. Jatuh cinta pada tatapan matanya yang menenggelamkan. 

            “Selamat.” Bisiknya dengan suara lembut.

            “Selamat apa?”

            “Kamu sudah menemukan definisnya.”

            “Maksudmu?”

            “Diammu adalah jawabannya.”

            “Aku masih tidak paham maksudnya.”

            “Tuhan itu tidak terdefinisi. Tuhan bersifat personal untuk setiap orang. Percuma kamu bersusah payah mencoba mencari definisi-Nya karena pada akhirnya saat kamu menemukan kebenaran-Nya kamu akan kembali pada Dia Yang Tidak Terdefinisikan.”

            Aku kaget. Aku dijebak oleh wanita setengah mabuk. Dia tergelak.

            “Lalu apa hubungannya dengan cinta?”

            “Cinta pertama,” tukasnya cepat.

            “Cinta pertama?”

            “Ya.”

            “Bagaimana dengan cinta sejati? Apakah mereka berbeda?”

            “Kamu menanyakan dua hal yang sama. Cinta hanya datang sekali, cinta pertama, dan dia yang sejati. Mereka satu kesatuan.”

            “Lalu bagaimana dengan deretan nama mantan kekasih yang pernah mengisi hidup kita?”

            “Sebagian adalah cinta yang bermotif, mungkin dari deretan nama itu hanya satu yang merupakan cinta pertama, atau mungkin tidak ada sama sekali karena cinta belum memukanmu dan di lain waktu cinta akan menghadirkan satu nama dalam hidupmu.”

            “Bagaimana aku bisa tahu kalau aku sudah menemukan cinta pertama?”

            “Saat kamu berhenti mendefinisikan arti cinta dan memiliki tujuan yang lain selain dari cinta itu sendiri. Dengan kata lain cinta itu sendirilah yang akan mendefinisikan dirimu dengan jujur karena cinta saat memilihmu tidak punya motif dan tujuan apa-apa selain menjadikan kamu menjadi sejujur-jujurnya dirimu.”

            Hujan diluar semakin deras, jarum jam sudah bergeser ke angka dua. Sudah dua jam lewat dari jam kerjaku, tapi aku tak sedikitpun menyesalinya. Wanita setengah mabuk di hadapanku ini sudah berhasil menenggelamkanku dalam semesta pemikirannya yang luar biasa liar dan indah.

            Kami terdiam beberapa saat. Aku mengambil sebatang rokok lagi dan menyulut dengan zippo miliknya. Dia melakukan hal yang sama. Kami masih terdiam tenggelam dalam lamunan tentang cinta pertama kami, tiba-tiba dia membuka obrolan kembali.

            “Jadi menurutmu sudahkah kamu menemnukan cinta pertamamu?”

            “Kurasa.... Ya. Aku sudah menemukannya.” Kataku sambil tersenyum getir menyadari semua kebodohanku selama ini.

            “Kejarlah!”

            Aku termenung.

            Dia menuangkan cognac ke dalam gelas kami yang kosong lalu mengangkat gelasnya ke arahku.

            Toast!” katanya.

            “Untuk apa?”

            “Karena kamu telah berhasil menemkan cinta pertamamu, cinta sejatimu. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah megejarnya meskipun cinta sejati pasti rela menunggumu seumur hidupnya tapi lebih cepat pasti lebih baik kan?”

            Aku tersenyum dan mengangkat gelas.

            Toast!” kataku dengan penuh semangat sambil mengangkat gelas tinggi-tinggi. Rasanya aku sudah mulai mabuk. Setelah itu kami mengobrol dengan topik yang lebih ringan. Hujan di luar semakin deras tapi kami semakin tidak peduli, serotonin di dalam darah kami memaksa otak terus berfantasi, melepaskan diri dari sumpeknya Jakarta yang muram di akhir Desember. Kami tertawa. Gelas berdentingan. Asap seperti kabut terus mengepul dan mengental. Kami merayakan penemuanku atas sebuah cinta pertama, cinta sejati. Rasanya aku benar-benar terlalu mabuk. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.

            Aku terbangun dari tidur dudukku di atas meja bar. Kepalaku masih pusing. Aku tengok jam di dinding sudah menunjuk ke angka delapan. Matahari di luar bersinar redup. Cahayanya yang mencoba menggeliat untuk merayakan pagi kembali di kepung awan. Hujan rintik-rintik turun lagi. Aku mencium aroma escada dan menemukan sebuah cardigan hitam menutupi punggungku. Aku teringat wanita semalam. Di mana dia? Batinku. Aku mencoba berdiri dan menemukan beberapa lembar uang tergeletak di atas meja. Ini pasti uang yang diberikan wanita tadi malam tapi aku tak pernah bisa mengingatnya, semuanya terlalu blur. Setelah toast terakhir aku terlalu mabuk, bahkan aku tak tahu kapan wanita itu pulang. Namun aku selalu ingat perintah terakhirnya. ‘Kejarlah!’

            Aku segera bangun dan pergi ke kamar mandi, aku ingin tampil sesegar mungkin pagi ini. Aku ingin menemui seseorang yang aku yakini adalah cinta pertamaku, cinta sejatiku. Ternyata benar kata beberapa orang tidak perlu kita jelajahi separuh dunia hanya untuk mencari cinta sejati  karena semua akan sia-sia kalau cinta belum menemukanmu, jalan terbaik adalah sesatkanlah dirimu agar cinta lebih mudah menemukanmu. Dan orang yang aku yakini sebagai cinta sejatiku itu hanya berjarak beberapa blok dari tempatku sekarang berada.

            Selesai mandi aku mencoba mematut-matut diri di depan cermin. Televisi yang sejak tadi malam belum dimatikan sedang menayangkan acara berita, sedikit lebih baik dari pada acara tadi malam yang membosankan. Seorang reporter sedang melaporkan sebuah peristiwa bunuh diri yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempatku. Aku menontonnya dengan perasaan biasa sampai suatu ketika reporter menyebutkan nama korban adalah: Pharas. Aku terkejut. Aku merasa mengenal nama itu, sebagian hatiku hancur, kacau tapi sebagian lagi berusaha menyangkal kalau itu adalah Pharas yang lain, Pharas yang tidak pernah aku kenal. Serangan berita pagi yang sukses menghancurkan mood-ku seketika. Aku besarkan volume televisi. Hotel tempat peristiwa bunuh diri itu aku kenal betul tidak sampai seratus meter dari tempatku berada sekarang. Aku segera menuju ke tempat kejadian setelah mengunci bar. Sepanjang perjalanan aku seperti melayang ada perang batin hebat dalam hatiku, yang satu takut dan yang satu lagi menyangkal. 

Tempat kejadian dipenuhi orang yang ingin menonton dari dekat, beberapa wartawan terlihat juga di sana, sebuah ambulance dengan sirene yang memekakkan telinga terparkir di depan hotel tersebut. Hotelnya tidak terlalu besar. Beberapa orang polisi terlihat sedang berjaga-jaga. Aku terus merangsek sambil meminta jalan agar dapat melihat lebih dekat siapa korban sebenarnya. Dari dalam hotel terlihat beberapa petugas medis membawa kantung mayat kuning yang berat, aku merasa terteror tapi aku harus memastikan saat petugas medis yang membawa kantung mayat itu lewat di depanku aku mencium aroma escada yang kuat. Air mataku merembes pelan, wajahku mulai memerah. Aku tak bisa lagi menahannya. Aku berlari sambil sesegukan. Aku tak tahu kenapa aku harus merasa sedih, tapi air mata itu dengan sendirinya keluar dan semakin aku berusaha menahan justru air mata itu malah mengalir lebih deras. Aku berlari lebih kencang. Aku tak tahu tujuan. Aku hanya berlari berdasarkan insting, terserah mau kemana kakiku membawaku.

Aku mulai lelah, tenggorokanku kering, kepalaku pening dan pandangan mataku berkunang-kunang. Aku bersandar pada sebuah pagar besi tinggi berwarna coklat. Di balik pagar itu sebuah lapangan tidak terlalu luas dengan rumput hijau segar membentengi sebuah rumah mungil bercat putih. Aku memicingkan mata mencoba melihat ke balik pagar. Aku merasa mengenal tempat ini. Ini adalah rumah tempat orang yang aku yakini sebagai cinta pertamaku tinggal. Aku berjongkok mencoba mengatur nafas. Aku mencoba menenangkan pikiran. Tapi lagi-lagi aku teringat Pharas dan aroma parfum escada itu menerorku. Baunya tercium dengan jelas. 

Ada sebuah tangan yang memegang pundakku. Aku berbalik dan mencoba berdiri. Dia menatapku lembut, tersenyum. Aku tatap bola matanya yang hitam jernih. Wajahku terpantul di sana. Aku tak tahu kenapa air mataku kembali meleleh, kali ini malah lebih deras, dia memelukku. Aku menangis sesegukan seperti seorang anak yang kehilangan ibunya. Tapi ini momen yang bersifat kebalikan, aku menangis justru karena tidak mampu menahan kebahagiaan yang tak bisa aku ucapkan. Aku menemukan aku. Cinta menemukan aku. Aku bukan lagi orang asing di hadapan cinta. Aku menemukan dia, cinta pertamaku dan aku menangis sesegukan dalam pangkuannya.

            Lima tahun berlalu. Aku dan istriku memasuki sebuah area pemakaman yang sepi. Dengan langkah kaki yang mantap kami berjalan menuju sebuah pusara, pusara Pharas. 

            Sekarang di sanalah dia terbaring dengan tenang. Misinya telah tercapai dengan sempurna, membantuku menemukan cinta pertamaku, cinta sejatiku. Seorang gadis yang dengan penuh keikhlasan bersedia memelukku dalam tangis. Seseorang yang kini dengan setia berdiri di sampingku dan dengan keluar biasaannya rela kelak menjadi seorang ibu untuk anak-anakku. Aku berlutut berdoa kepada Tuhan yang dengan caranya yang magis telah membimbingku sampai ke titik ini. Aku berdoa untuk Pharas, berdoa untuk keluargaku dan berdoa untuk beberapa miliar manusia lainnya agar diberikan kesempatan untuk menemukan cinta sejatinya.

            Aku belai lebut nisan Pharas dan berkata dalam hati. Pharas, hampir semua yang kamu katakan malam itu benar, hampir semuanya benar. Kecuali satu, cinta sejati itu tidak hanya satu, dia bisa dua, tiga atau lebih. Cinta yang menemani kita hanya satu, tapi cinta sejati yang lainpun ada. Bagiku cinta sejati itu ada tiga. Yang pertama adalah orang yang sekarang berdiri di sampingku, yang kedua adalah adalah orang yang kini tertidur di hadapanku dan yang ketiga cinta sejatiku belum terlahir sampai saat ini, dan mungkin akan segera lahir. Aku menegok ke arah istriku, dia tersenyum, aku membelai lembut perutnya yang semakin hari semakin membesar. Aku bersyukur.

            Matahari semakin tergelincir ke barat. Warna merahnya semburat merentangkan kebahagiaan. Aku menggandeng tangan istriku keluar dari area pemakaman.

            Angin berdesir lembut, daun-daun rontok. Tiba-tiba gerimis turun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U