“Seorang sahabat pernah berkata kepadaku bahwa Adam dan Hawa
dulunya memiliki sepasang sayap, saat Tuhan mengusir mereka dari surga dan
menghempaskan tubuh mereka ke bumi mereka terpencar di tempat yang berjauhan,
dan masing-masing sebelah sayap mereka patah. Mereka hanya bisa kembali terbang
ke surga apabila mereka berpelukan, karena hanya dengan berpelukan sayap mereka
akan menjadi sempurna dan bisa digunakan untuk kembali terbang ke surga.......
Entahlah...”
Suasana malam Jakarta di akhir Desember
selalu muram, sejak sore hujan rintik-rintik turun. Suasana dalam bar lengang,
hanya ada beberapa pengunjung yang berkerumun di pojok. Tidak meriah, mereka
berbicara seperti berbisik satu sama lain menambah muram suasana bar dan
asap-asap jemu keluar dari bibir mereka di antara bunyi gelas yang
berdentingan. Televisi yang tergantung di dinding sebelah barat sejak sore
menayangkan acara yang tidak menarik, monoton dan membosankan. Aku mempercepat
kerjaku, memoles gelas-gelas yang baru saja aku cuci. Harapanku jelas sekali,
pulang cepat dan lekas-lekas beristirahat. Keluar dari zona membosankan dalam
bar kecil ini.
Jarum
jam menunjuk angka sebelas tepat. Satu jam lagi aku bisa bebas. Tamu yang
tersisa tinggal dua orang dan dari gesture
mereka menandakan akan segera pergi. Aku percepat lagi kerjaku, merapikan sisa
tumpahan anggur dan abu rokok di atas meja.
“Hey!
Terima kasih ya, selamat beristirahat.” Pengunjung terakhir berkata sambil
beringsut bangun dari tempat duduknya. Dia mununjuk sesuatu yang dia tinggalkan
di atas meja, segera merangkul pasangannya dan pergi.
Ting.
Suara
denting lonceng di atas pintu menandakan selesai sudah hari yang membosankan
ini. Aku berbegas menuju meja tempat tamu terakhir duduk. Dia meninggalkan
sejumlah uang tip. Lumayan, pikirku. Segera kurapikan mejanya. Dan bergegas
menuju meja bar untuk mengambil kunci.
Ting.
Aku
menoleh ke arah pintu. Ada seorang wanita dengan cardigan hitam masuk.
Rambutnya yang hitam panjang terurai masih menandakan bekas biasan air hujan,
wajahnya putih pucat, tapi aku tak bisa melihat matanya karena dia terus
menunduk sampai duduk di depan meja bar.
“Maaf
nona.. Kami..”
“Masih
ada waktu satu jam sebelum tutup kan?” dia berbicara sambil menoleh ke arah jam
dinding yang tergantung di atas televisi. Televisi itu, ya ampun, masih saja
menayangkan acara yang membosankan.
Dia
benar, masih ada satu jam sebelum kami tutup. Aku hanya bisa mengangkat bahu.
“Cognac dua!” wanita itu berkata dengan
suara yang berat dan dalam. Bukankah ini sudah terlalu malam untuk
mabuk-mabukan? Pikirku dalam hati. Tapi pelanggan adalah raja, dengan perasaan
enggan aku menyiapkan dua buah gelas di meja, mengeluarkan sebotol cognac dan menghampirinya. Bau parfum escada dengan cepat menguasai hidungku.
Wanita ini benar-benar memiliki selera. Minum cognac tengah malam sambil berbusana serba hitam, ditambah parfum escada yang memiliki aroma hangat dalam
suasana hujan. She’s electric.
Aku
menuangkan cognac ke dalam gelas
pertama dan kedua. Tangannya yang berwarna pucat memegang tanganku, aku
menatapnya, tapi mata itu tak terlihat, tertutup poni panjang dan wajahnya
selalu meunduk.
“Taruh
saja botolnya di sini!”
Wanita
yang aneh. Aku malas kalau beberapa jam lagi harus membopong-bopong wanita mabuk
sambil memanggilkan taksi dalam cuaca gerimis seperti ini.
Dia
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah buku jurnal. Aku hanya
memperhatikan semua gerakannya sambil berpura-pura menonton televisi dengan
volume rendah yang lagi-lagi terus menayangkan acara yang membosankan. Dia
mengangkat gelas pertama dan langsung meminumnya sampai tandas, kepalanya
terangkat ke belakang, hampir jatuh, matanya terpejam. Sekali lagi aku gagal
menemukan matanya. Aku hanya memperhatikan. Gelas pertama dia taruh dan segera
beralih ke buku jurnal. Bibirnya
tersenyum saat membuka lembaran-lembaran buku itu. Tapi senyumnya aneh, hambar
dan terasa getir.
Gelas
kedua tandas sudah dengan sekali teguk. Aku menghampirinya dengan niat
menuangkan cognac berikutnya ke dalam
gelas.
“Ambillah
kursi!” aku menurut. Aku ambil kursi dan duduk di atasnya. Sekarang kami
berhadap-hadapan. Dia mengangkat wajahnya. Lehernya indah, jenjang dan berwarna
gading. Aroma escada sekarang semakin
menyeruak berpandu dengan aroma cognac
yang liar namun lembut. Dia perlahan membuka matanya. Ya tuhan, ini pasti efek
samping dari kerja yang membosankan. Aku pasti berhalusinasi. Aku pasti mabuk
dan terbius oleh aroma cognac tanpa
harus meminumnya. Matanya benar-benar indah, dalam, matanya berwarna hazel. Dia begitu cantik dengan rambut
hitam panjang, leher jenjang dan warna mata hazel.
“Kamu
pernah jatuh cinta?” tanyanya tiba-tiba. Tangannya bergerak mengambil botol dan
dengan cekatan menuangkannya ke dalam gelas. Dia tersenyum.
“Minumlah!”
katanya sambil menggeser satu gelas ke arahku.
“Maaf,
tapi ini tidak sopan, aku tidak boleh minum dari gelas tamu.”
“Tidak
apa-apa. Bukankah aku sendiri yang memintanya?” dia menggeser lagi gelas itu
lebih dekat ke arahku.
Aku
menggapainya dan meminum sedikit. Aroma cognac
yang kuat langsung memenuhi rongga mulutku. Aku minum lagi dengan tegukan yang
lebih besar. Rongga dadaku sekarang terasa lebih hangat. Mataku terasa lebih
terang dari sebelumnya.
Dia
mengeluarkan sebungkus rokok, mengambil sebatang dan menyulutnya dengan zippo, gerakannya benar-benar anggun.
Dia menyorongkan bungkus itu ke arahku. Aku ambil sebatang dan menyelipkannya
di bibirku. Dia menjulurkan tangannya. Rokok di bibirku tersulut. Asap
mengepul-ngepul di antara kami. Dia tersenyum, kali ini senyumnya lebih bebas
dan rileks. Indah sekali. Kami seperti dua sahabat lama yang bertahun-tahun
tidak bertemu. Di hadapan sebotol cognac
dan asap yang menggumpal-gumpal suasana menjadi lebih cair.
“Berapa
umurmu?” tanyanya mencoba membuka percakapan.
“Dua
puluh tujuh, kamu?”
“Dua
puluh delapan. Siapa namamu?”
“Nikki,
dan kamu?”
“Panggil
saja aku Pharas.”
“Nama
yang cantik...”
Dia
menghisap rokoknya lebih dalam. Mengangkat gelasnya dan syukurlah kali ini dia
lebih santai, dia menyesap air api itu perlahan lahan.
“Kamu
pernah jatuh cinta, Nikki?”
“Beberapa
kekasih....” kataku datar.
“Aku
tidak menanyakan kekasih atau pacar, aku menanyakan cinta?”
“Apa
bedanya?”
“Cinta
tidak butuh motif.”
“Maksudnya?”
“Kalau
kamu mencintai seseorang dengan banyak keinginan berarti itu bukan cinta.”
“Bukankah
kalau kita mencintai seseorang juga pasti memiliki harapan dan tujuan dari
hubungan tersebut?”
“Itu
bukan cinta.”
“Bukankah
tujuan akhir dari sebuah cinta adalah perkawinan. Bukankah itu juga sebuah
motif?”
“Itulah
masalahnya....” dia menahan kata-katanya, mengangkat gelasnya lagi dan
meminumnya. Kali ini sampai tandas. Aku menggelengkan kepala tapi anehnya
melakukan hal yang sama. Sekarang gelas kami kosong. Cognac yang tersisa di botol tinggal sedikit. Aku berdiri dan berjalan ke arah rak. Aku ambil satu botol cognac lagi. Mematikan beberapa lampu
lalu kembali duduk. Sekarang suasana dalam bar sedikit temaram. Hujan di luar
tambah deras, sangat tidak manusiawi meminta pelanggan pulang dalam cuaca
seperti ini dan aku menikmati obrolannya. Aku duduk, dia menyulut rokoknya yang
kedua.
“Lanjutkan!”
pintaku.
“Oke. Dengar baik-baik. Saat kamu bertemu
cinta. Bukan kamu yang menemukannya tapi dia yang menemukanmu.” Keningku berkerut
mencoba memahami kata-katanya.
“Kamu
pasti lelah mencari-cari pasangan yang pas, mencocok-cocokkan zodiak,
menyamakan selera, terjebak dalam surga palsu di awal hubungan yang setelah
beberapa bulan berbalik seratus delapn puluh derajat menjadi neraka absolut
yang segera mau kamu tinggalkan. Iya kan?”
Aku
mengangguk sambil membenarkan kata-katanya dalam hatiku. Semua perkataanya
benar dan itulah yang memang selama ini aku rasakan.
Aku
menuangkan cognac ke dalam gelas
kami.
“Lalu
menurutmu apa cinta sejati itu?” aku berbalik bertanya kepadanya.
“Itu
pertanyaan salah yang selalu diulang-ulang sepanjang masa.”
“Maksudmu?”
“Apa
definisi Tuhan menurutmu?”
Aku
diam, menarik tubuhku ke belakang. Mencoba berpikir, beberapa kata melintas
dalam kepalaku tapi selalu saja dibantah oleh suara lain yang keluar dari dalam
hatiku. Otak dan hatiku tidak sinkron untuk mencari definisnya. Aku didera
sebuah dilema. Pencarian definisi yang tanpa akhir. Sepuluh menit berlalu. Aku
masih diam tidak bisa membuka suara, aku menyerah. Dia tersenyum dengan mata
yang berbinar. Mata hazel-nya
terlihat kebih terang. Aku terpesona. Jatuh cinta pada tatapan matanya yang
menenggelamkan.
“Selamat.”
Bisiknya dengan suara lembut.
“Selamat
apa?”
“Kamu
sudah menemukan definisnya.”
“Maksudmu?”
“Diammu
adalah jawabannya.”
“Aku
masih tidak paham maksudnya.”
“Tuhan
itu tidak terdefinisi. Tuhan bersifat personal untuk setiap orang. Percuma kamu
bersusah payah mencoba mencari definisi-Nya karena pada akhirnya saat kamu
menemukan kebenaran-Nya kamu akan kembali pada Dia Yang Tidak Terdefinisikan.”
Aku
kaget. Aku dijebak oleh wanita setengah mabuk. Dia tergelak.
“Lalu
apa hubungannya dengan cinta?”
“Cinta
pertama,” tukasnya cepat.
“Cinta
pertama?”
“Ya.”
“Bagaimana
dengan cinta sejati? Apakah mereka berbeda?”
“Kamu
menanyakan dua hal yang sama. Cinta hanya datang sekali, cinta pertama, dan dia
yang sejati. Mereka satu kesatuan.”
“Lalu
bagaimana dengan deretan nama mantan kekasih yang pernah mengisi hidup kita?”
“Sebagian
adalah cinta yang bermotif, mungkin dari deretan nama itu hanya satu yang
merupakan cinta pertama, atau mungkin tidak ada sama sekali karena cinta belum
memukanmu dan di lain waktu cinta akan menghadirkan satu nama dalam hidupmu.”
“Bagaimana
aku bisa tahu kalau aku sudah menemukan cinta pertama?”
“Saat
kamu berhenti mendefinisikan arti cinta dan memiliki tujuan yang lain selain
dari cinta itu sendiri. Dengan kata lain cinta itu sendirilah yang akan
mendefinisikan dirimu dengan jujur karena cinta saat memilihmu tidak punya
motif dan tujuan apa-apa selain menjadikan kamu menjadi sejujur-jujurnya
dirimu.”
Hujan
diluar semakin deras, jarum jam sudah bergeser ke angka dua. Sudah dua jam
lewat dari jam kerjaku, tapi aku tak sedikitpun menyesalinya. Wanita setengah
mabuk di hadapanku ini sudah berhasil menenggelamkanku dalam semesta
pemikirannya yang luar biasa liar dan indah.
Kami
terdiam beberapa saat. Aku mengambil sebatang rokok lagi dan menyulut dengan zippo miliknya. Dia melakukan hal yang
sama. Kami masih terdiam tenggelam dalam lamunan tentang cinta pertama kami,
tiba-tiba dia membuka obrolan kembali.
“Jadi
menurutmu sudahkah kamu menemnukan cinta pertamamu?”
“Kurasa....
Ya. Aku sudah menemukannya.” Kataku sambil tersenyum getir menyadari semua
kebodohanku selama ini.
“Kejarlah!”
Aku
termenung.
Dia
menuangkan cognac ke dalam gelas kami yang kosong lalu
mengangkat gelasnya ke arahku.
“Toast!”
katanya.
“Untuk apa?”
“Karena
kamu telah berhasil menemkan cinta pertamamu, cinta sejatimu. Yang harus kamu
lakukan sekarang adalah megejarnya meskipun cinta sejati pasti rela menunggumu
seumur hidupnya tapi lebih cepat pasti lebih baik kan?”
Aku
tersenyum dan mengangkat gelas.
“Toast!” kataku dengan penuh semangat
sambil mengangkat gelas tinggi-tinggi. Rasanya aku sudah mulai mabuk. Setelah
itu kami mengobrol dengan topik yang lebih ringan. Hujan di luar semakin deras
tapi kami semakin tidak peduli, serotonin
di dalam darah kami memaksa otak terus berfantasi, melepaskan diri dari
sumpeknya Jakarta yang muram di akhir Desember. Kami tertawa. Gelas
berdentingan. Asap seperti kabut terus mengepul dan mengental. Kami merayakan
penemuanku atas sebuah cinta pertama, cinta sejati. Rasanya aku benar-benar
terlalu mabuk. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
Aku
terbangun dari tidur dudukku di atas meja bar. Kepalaku masih pusing. Aku
tengok jam di dinding sudah menunjuk ke angka delapan. Matahari di luar
bersinar redup. Cahayanya yang mencoba menggeliat untuk merayakan pagi kembali
di kepung awan. Hujan rintik-rintik turun lagi. Aku mencium aroma escada dan menemukan sebuah cardigan
hitam menutupi punggungku. Aku teringat wanita semalam. Di mana dia? Batinku.
Aku mencoba berdiri dan menemukan beberapa lembar uang tergeletak di atas meja.
Ini pasti uang yang diberikan wanita tadi malam tapi aku tak pernah bisa
mengingatnya, semuanya terlalu blur.
Setelah toast terakhir aku terlalu
mabuk, bahkan aku tak tahu kapan wanita itu pulang. Namun aku selalu ingat
perintah terakhirnya. ‘Kejarlah!’
Aku
segera bangun dan pergi ke kamar mandi, aku ingin tampil sesegar mungkin pagi
ini. Aku ingin menemui seseorang yang aku yakini adalah cinta pertamaku, cinta
sejatiku. Ternyata benar kata beberapa orang tidak perlu kita jelajahi separuh
dunia hanya untuk mencari cinta sejati karena semua akan sia-sia kalau cinta belum
menemukanmu, jalan terbaik adalah sesatkanlah dirimu agar cinta lebih mudah
menemukanmu. Dan orang yang aku yakini sebagai cinta sejatiku itu hanya
berjarak beberapa blok dari tempatku sekarang berada.
Selesai
mandi aku mencoba mematut-matut diri di depan cermin. Televisi yang sejak tadi
malam belum dimatikan sedang menayangkan acara berita, sedikit lebih baik dari
pada acara tadi malam yang membosankan. Seorang reporter sedang melaporkan
sebuah peristiwa bunuh diri yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempatku.
Aku menontonnya dengan perasaan biasa sampai suatu ketika reporter menyebutkan
nama korban adalah: Pharas. Aku terkejut. Aku merasa mengenal nama itu,
sebagian hatiku hancur, kacau tapi sebagian lagi berusaha menyangkal kalau itu
adalah Pharas yang lain, Pharas yang tidak pernah aku kenal. Serangan berita
pagi yang sukses menghancurkan mood-ku
seketika. Aku besarkan volume televisi. Hotel tempat peristiwa bunuh diri itu
aku kenal betul tidak sampai seratus meter dari tempatku berada sekarang. Aku
segera menuju ke tempat kejadian setelah mengunci bar. Sepanjang perjalanan aku
seperti melayang ada perang batin hebat dalam hatiku, yang satu takut dan yang
satu lagi menyangkal.
Tempat kejadian
dipenuhi orang yang ingin menonton dari dekat, beberapa wartawan terlihat juga
di sana, sebuah ambulance dengan sirene yang memekakkan telinga terparkir di
depan hotel tersebut. Hotelnya tidak terlalu besar. Beberapa orang polisi
terlihat sedang berjaga-jaga. Aku terus merangsek sambil meminta jalan agar
dapat melihat lebih dekat siapa korban sebenarnya. Dari dalam hotel terlihat
beberapa petugas medis membawa kantung mayat kuning yang berat, aku merasa
terteror tapi aku harus memastikan saat petugas medis yang membawa kantung
mayat itu lewat di depanku aku mencium aroma escada yang kuat. Air mataku merembes pelan, wajahku mulai memerah.
Aku tak bisa lagi menahannya. Aku berlari sambil sesegukan. Aku tak tahu kenapa
aku harus merasa sedih, tapi air mata itu dengan sendirinya keluar dan semakin
aku berusaha menahan justru air mata itu malah mengalir lebih deras. Aku
berlari lebih kencang. Aku tak tahu tujuan. Aku hanya berlari berdasarkan
insting, terserah mau kemana kakiku membawaku.
Aku mulai lelah,
tenggorokanku kering, kepalaku pening dan pandangan mataku berkunang-kunang.
Aku bersandar pada sebuah pagar besi tinggi berwarna coklat. Di balik pagar itu
sebuah lapangan tidak terlalu luas dengan rumput hijau segar membentengi sebuah
rumah mungil bercat putih. Aku memicingkan mata mencoba melihat ke balik pagar.
Aku merasa mengenal tempat ini. Ini adalah rumah tempat orang yang aku yakini
sebagai cinta pertamaku tinggal. Aku berjongkok mencoba mengatur nafas. Aku
mencoba menenangkan pikiran. Tapi lagi-lagi aku teringat Pharas dan aroma
parfum escada itu menerorku. Baunya
tercium dengan jelas.
Ada sebuah tangan yang
memegang pundakku. Aku berbalik dan mencoba berdiri. Dia menatapku lembut,
tersenyum. Aku tatap bola matanya yang hitam jernih. Wajahku terpantul di sana.
Aku tak tahu kenapa air mataku kembali meleleh, kali ini malah lebih deras, dia
memelukku. Aku menangis sesegukan seperti seorang anak yang kehilangan ibunya.
Tapi ini momen yang bersifat kebalikan, aku menangis justru karena tidak mampu
menahan kebahagiaan yang tak bisa aku ucapkan. Aku menemukan aku. Cinta
menemukan aku. Aku bukan lagi orang asing di hadapan cinta. Aku menemukan dia,
cinta pertamaku dan aku menangis sesegukan dalam pangkuannya.
Lima
tahun berlalu. Aku dan istriku memasuki sebuah area pemakaman yang sepi. Dengan
langkah kaki yang mantap kami berjalan menuju sebuah pusara, pusara Pharas.
Sekarang
di sanalah dia terbaring dengan tenang. Misinya telah tercapai dengan sempurna,
membantuku menemukan cinta pertamaku, cinta sejatiku. Seorang gadis yang dengan
penuh keikhlasan bersedia memelukku dalam tangis. Seseorang yang kini dengan
setia berdiri di sampingku dan dengan keluar biasaannya rela kelak menjadi
seorang ibu untuk anak-anakku. Aku berlutut berdoa kepada Tuhan yang dengan
caranya yang magis telah membimbingku sampai ke titik ini. Aku berdoa untuk
Pharas, berdoa untuk keluargaku dan berdoa untuk beberapa miliar manusia lainnya
agar diberikan kesempatan untuk menemukan cinta sejatinya.
Aku
belai lebut nisan Pharas dan berkata dalam hati. Pharas, hampir semua yang kamu
katakan malam itu benar, hampir semuanya benar. Kecuali satu, cinta sejati itu
tidak hanya satu, dia bisa dua, tiga atau lebih. Cinta yang menemani kita hanya
satu, tapi cinta sejati yang lainpun ada. Bagiku cinta sejati itu ada tiga.
Yang pertama adalah orang yang sekarang berdiri di sampingku, yang kedua adalah
adalah orang yang kini tertidur di hadapanku dan yang ketiga cinta sejatiku
belum terlahir sampai saat ini, dan mungkin akan segera lahir. Aku menegok ke
arah istriku, dia tersenyum, aku membelai lembut perutnya yang semakin hari
semakin membesar. Aku bersyukur.
Matahari
semakin tergelincir ke barat. Warna merahnya semburat merentangkan kebahagiaan.
Aku menggandeng tangan istriku keluar dari area pemakaman.
Angin
berdesir lembut, daun-daun rontok. Tiba-tiba gerimis turun.
Komentar