Langsung ke konten utama

BULAN PUCAT

Bulan yang menggantung sempurna di angkasa itu seutuhnya milik Fla. Secara keseluruhan bulan merupakan analogi yang sempurna untuk menggambarkan kisah cintanya. Kisah cinta rumit dengan pasang surutnya, terkadang begitu terang dan membahagiakan tapi tak jarang pula begitu gelap dan menyesatkan. Cinta yang memberi harapan dan keputusasaan di detik yang bersamaan. Fla merasa gamang. Risau yang tak berkesudahan. Bulan yang setiap malam dipandangi dari jendela kamarnya yang pucat itu merepresentasikan pasang surut hubunganya dengan Ray.

Kadang Fla menyesali keputusan bodohnya membiarkan Ray masuk ke dalam hidupnya di saat-saat yang paling rawan. Waktu itu Fla tidak berpikir panjang. Rasa frustasinya yang akut akan hubungannya dengan Doni menjadikan Ray seperti ksatria berkuda putih yang datang di masa terkelam dalam hidupnya. Ya, Fla dan Ray berselingkuh. Fla membagi cintanya dengan Ray yang notabene-nya adalah teman Doni juga. Kisah cinta segitiga yang tidak mungkin ini menjadikan amuk besar dalam kehidupan asmara mereka bertiga.

Badai itu tidak berlangsung lama karena satu bulan setelah Doni mengetahui perselingkuhan itu dia mengakhiri hubungannya dengan Fla. Fla menangis, dia merasa kehilangan sekaligus merasa bersyukur. Dia merasa bersalah tapi juga merasa terbebaskan dari cinta segi tiga yang rumit. Hubungan persahabatan antara Ray dan Doni merengggang. Alasannya satu, Ray sedari jauh-jauh sudah hari tahu jika Doni  berselingkuh dengan Nita dan Ray mengancam Doni akan membeberkan semuanya di hadapan Fla.

Ini bukan lagi perkara cinta segi tiga, tapi cinta segi empat yang terkesan aneh dan dangkal. Cinta di hadapan ke empat insan ini seperti properti, bisa mereka tukar gulingkan sekehendak hati. Doni uring-uringan karena perilaku  Don Juan-nya gagal total, ditikung sahabat sendiri. Ray yang semula hanya ingin menyembuhkan luka Fla malah jatuh cinta. Fla sendiri mengambil keputusan instant, menjalin hubungan dengan Ray untuk melampiaskan kesedihannya karena berpisah dengan Doni. Nita, dia tahu semuanya tapi tetap menutup mata, dia enggan berpikir berat untuk masalah ini, targetnya hanya satu, memiliki Doni secara utuh dan menjauhkan Doni dari pusaran Fla dan Ray.

 Tiga tahun, batin Fla. Itu berarti tiga puluh enam bulan. Berarti seratus lima puluh enam kali malam minggu yang biasanya dia habiskan bersama Doni. Tiba-tiba dia merasa sepi. Cairan bening mulai mengalir satu-satu dari sudut matanya. Fla menangis tanpa suara. Dia pandang lagi bulan pucat yang masih menggantung setia itu dari jendela kamarnya. Dia teringat Doni. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, tiga tahun itu sama dengan seribu sembilan puluh lima ucapan selamat pagi yang tak pernah satu haripun Doni lupa untuk mengucapkannya.

Fla memang gadis yang terlalu teliti, semua pernik perjalanan cintanya dengan Doni selalu terarsipkan dengan baik, mulai dari karcis bioskop jika mereka nonton bersama, tiket parkir, sampai bon restoran. Fla menyimpan semuanya dengan rapi. Lebih dari itu dia mengingat setiap detail kejadian seperti kamera yang merekam momen terbaik, semuanya terlalu jelas, terlalu terang benderang. Makanya dia merasa begitu kehilangan saat harus berpisah dengan Doni. Bukan perpisahan yang menyenangkan. Perpisahan yang menyisakan luka begitu dalam di hati Fla. Doni adalah sebuah kontradiksi  terbesar dalam hidupnya. Orang yang paling dia sayangi sekaligus paling dia benci.

Pintur kamar Fla diketuk. Fla segera mengelap air mata dengan telapak tangannya.

        “ Siapa?” tanya Fla dengan suara parau.

        “ Ini Mama, ada Ray menunggu kamu di bawah.”

Ray, Fla tidak jadi beringsut dari dekat jendela. Ada keengganan yang menyelimuti hati Fla untuk bertemu dengan Ray. Keengganan yang Fla sendiripun tidak bisa menjelaskannya.

       “Tolong bilang ke Ray Fla sedang tidak ada di rumah, Ma!”

Pintu kamar Fla terbuka. Mama masuk dan menemukan Fla masih duduk di kursi dekat jendela sambil memandangi bulan.

        “Ada apa sayang?” tanya Mama.

        “Tidak ada apa-apa, Ma.”

Mama memandang mata Fla lekat-lekat. Seorang ibu tahu benar apa yang dirasakan anaknya tanpa harus diceritakan karena mereka pernah terhubung dengan tali pusat selama hampir sembilan bulan, saat tali pusat itu terlepas masih ada insting alami yang selalu menghubungkan mereka berdua. Seorang ibu dan batin anaknya tak akan pernah terpisahkan.

        “Sini,” kata Mama sambil menarik kepala Fla ke dalam pelukannya.

Tanpa komando lagi air mata Fla langsung terburai, mengalir dengan deras. Fla sesegukan dalam pangkuan ibunya. Fla menemukan sandaran resahnya selama ini, hanya dalam pangkuan ibunya Fla bisa mengekspresikan kesedihannya yang selama ini ia simpan dalam-dalam.

        “Teruslah menangis sayang, tapi setelah ini kamu harus berjanji untuk melupakan semua masalahmu, jika tidak bisa melupakan setidaknya kamu bisa memaafkan dan berusaha berdamai dengan masa lalu kamu agar tidak lagi membebani pikiranmu.”

Tangisan Fla semakin  menjadi-jadi. Mama membelai lembut rambut Fla yang panjang. Baju Mama basah oleh air mata Fla. Mama tersenyum getir, betapa banyak kesedihan yang selama ini Fla simpan dan tidak mau dia sampaikan. Mama sadar Fla dalam kondisi yang sangat rapuh dan butuh sandaran kuat. Mama mengangkat wajah Fla dan duduk di kursi seberang. Mereka berhadap-hadapan. Wajah Fla pucat, sepucat bulan yang masih menggantung di balik jendela.

        “Mama mau menceritakan sesuatu kepadamu,” kata Mama.

Fla mengelap air matanya, tangisannya sekarang sedikit mereda.

        “Kamu tahu kan betapa cintanya Mama pada Ayahnmu?” Fla mengangguk, tak ada yang perlu diragukan dari hal itu.

        “Saat ayahmu meninggal, Mama kehilangan pegangan seperti kamu sekarang. Mama sering menangis sendiri malam-malam. Kadang Mama merasa tidak ada yang penting lagi dalam hidup ini, Mama kehilangan harapan. Kejadian ini terus berlangsung selama berbulan-bulan.

        “Suatu malam, waktu itu kamu baru berumur empat tahun. Kalau tidak salah bulan November. Langit malam itu benar-benar gelap, hujan tercurah begitu lebat dari langit dan petir menyambar-nyambar. Kamu sakit panas, persediaan obat penurun panas habis di kotak obat,” Mama menahan kata-katanya, ada butiran air hangat yang merembes dari sela matanya jika teringat kejadian itu.

        “Badan kamu luar biasa panas, kamu sakit tapi sedikitpun kamu tidak menangis seolah-olah kamu tidak ingin membuat Mama khawatir dengan keadaanmu. Bayangkan Fla, kamu yang masih berumur empat tahun saja bisa bersikap begitu bijaksana, kamu tidak ingin menambah berat beban kesedihan yang Mama rasakan waktu itu.” Air mata mamanya sekarang turun dengan deras. Fla maju dan mengusap air mata itu dari pipi Mamanya.

        “Waktu itu Mama begitu egois, Mama hanya memikirkan diri Mama sendiri dan kesedihan Mama. Mama lupa kalau ada hal yang lebih penting dari Mama, yaitu kamu. Sejak saat itu sampai sekarang Mama berjanji untuk lebih memikirkan kamu dibandingkan diri Mama sendiri.” Fla merebahkan kepalanya di atas pengkuan Mamanya. Fla merasakan kehangatan sekaligus kesejukan di situ.

        “Sekarang kamu berada dalam posisi Mama beberapa tahun lalu. Ingat Fla. Jangan sampai kamu melupakan bulan yang selalu setia menerangi malam-malammu yang gelap karena kamu terlalu sibuk menghitung bintang, terpesona dengan kelipannya padahal bintang begitu jauh dan tak mungkin terjangkau. Sesekali hargailah bulan, walaupun ia pucat tapi ia setia menemanimu melalui pasang surut kehidupan. Kamu mengerti maksud Mama, kan?”

Fla mengangguk. Mama berdiri.

        “Sekarang ganti bajumu. Lalu cuci muka. Temui Ray di bawah. Jangan kecewakan bulan sampai kamu sadar dan bulan itu pergi karena kamu akan menangis seharian. Sejenak lupakanlah bintang.”

Sudah setengah jam Ray duduk di ruang tamu sambil membolak-balik majalah yang sudah berkali-kali dia baca.

        “Ray…” ada suara memangilnya.

Ray tengadah ke arah tangga.

Fla berdiri di sana dengan anggun, wajahnya masih pucat tapi bercahaya seperti bulan.

Ray tersenyum.

Mama yang mengintip dari arah dapur juga tersenyum.
Bulan yang bersinar dari balik jendelapun ikut tersenyum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s