Sudah jarang kulihat kau menangis
belakangan ini. Saat aku bersandar di dadamu pun tak lagi kudengar gemuruh
ombak yang dulu selalu mendebur dari jantungmu. Apa sekarang musim yang ada di
hatimu sudah berubah? Masihkah hatimu itu mampu memekarkan mawar yang kutanam
sejak lama, yang bahkan jauh sebelum Adam ditakdirkan untuk hempas dari surga?
Bahkan kadang di dalam fantasi terliarku aku selalu membayangkan kalau kamu
bukanlah dirimu yang sama seperti bertahun lalu, mungkin kamu hanyalah orang
yang mirip denganmu dan mengaku-ngaku kalau itu adalah kamu, entahlah.
Setiap pagi kau selalu melaksanakan
ritual sakralmu, duduk di atas kursi di balkon sambil duduk bersila dan
menggenggam secangkir teh chamomile
hangat kesukaanmu, sambil sesekali kau hirup aromanya tapi tanpa pernah
sedikitpun bibir cangkir itu merasakan hangatnya bibirmu, kau hanya akan
membiarkan aroma teh itu menguap dan menjadi dingin dalam genggamanmu.
Pandangmu selalu berbinar saat menyaksikan raksasa merah itu perlahan hadir,
cahayanya sedikit membias di atas kelopak matamu yang perlahan menutup, aku
tahu kau mencoba menikamti setiap kecupan hangat dari cahaya yang mulai membuka
semua pori di tubuhmu, lalu kau akan tetap seperti itu selama beberapa saat
sampai semua embun di taman kita habis menguap. Kamu selalu melakukan itu
setiap hari, bahkan jauh sebelum kita bertemu. Tapi aku merasa kini orang yang
duduk di atas balkon itu, tangan yang menggenggam cangkir itu, rambut kemerahan
yang disepuh cahaya matahari itu, dan binar mata coklat itu bukan milik kamu,
keseluruhannya bukanlah kamu, aku merasa dihadapkan pada seorang asing yang
menumpang pada diri seseorang yang aku kenal bertahun lalu, tapi lalu pendatang
gelap itu mulai menjadi benalu yang mengambil semua sisi dari orang yang
kukenal itu, entahlah.
Suatu malam kamu pernah mengundangku
ke apartemenmu, saat aku datang kamu sudah menyiapakan dua cangkir minuman
untuk kita, secangkir teh chamomile hangat
favoritmu, yang aku yakin kali ini pun tak akan kau minum sama sekali dan
secangkir kopi hitam yang kental untukku. Kamu duduk bersila di atas sofa
sambil menggenggam cangkir yang masih hangat, mencoba merasakan energi itu
tersalur melalui jari dan beredar ke seluruh tubuhmu. Mungkin waktu itu aku
terlalu lelah, aku duduk sambil bersandar pada sandaran sofa dengan sedikit
malas. Lalu kau mulai bercerita tentang kegiatanmu seharian ini, tentang betapa
bahagianya kamu saat pergi ke pasar dan melihat bayam dan kangkung yang
dijajakan di pasar. Bayam dan kangkung? Apa hebatnya, batinku. Tapi aku terlalu
lelah, aku hanya tetap bersandar di sandaran sofa sambil menggenggam secangkir
kopi yang sudah habis setengahnya. Lalu ceritamu mulai baur, kau bercerita
tentang indahnya negeri-negeri asing yang ada di atas awan, kau bercerita
tentang anjingmu yang sudah mati beberapa tahun lalu, kau bercerita tentang…
entahlah, aku terlalu lelah waktu itu, aku hanya bersandar di sandaran sofa dan
setengah mati mencoba bertahan agar tidak menguap, aku takut menyakiti
perasaanmu, karena menguap-ku berarti protes atas semua ceritamu yang bagiku
sangat membingungkan itu.
Tengah malam sudah mulai
tergelincir, kamu pun perlahan menyudahi ceritamu lalu beringsut menuju kamar.
Saat kamu bangun aku memperhatikan raut wajahmu yang kemerahan, dan warna bola
mata coklat terang itu, dengan sisa kesadaranku yang hanya tinggal 10 watt, aku
yakin kalau aku melihat gadisku yang sudah sekian lama tak kutemui dalam tubuh
ini. Aku masih saja terduduk sambil bersandar pada sandaran sofa empuk ini.
Kopi dalam cangkir yang ada di tanganku sudah tandas tinggal ampas, tapi rasa
kantuk ini tak kunjung hilang. Dengan segenap tenaga yang tersisa aku mencoba
untuk bangun dan meraih gagang pintu.
“Sayang!” katamu lirih. Aku
menengok sesaat ke arahmu. “Tolong matikan lampunya!” aku tahu saat itu aku
sudah kembali menemukan gadisku yang sudah hilang sekian lama. Atau mungkin
justru aku yang sekarang malah hilang dari diriku, dan menjadi seperti kamu,
ah… entahlah! Aku terlalu lelah malam itu, atau…
Justru malam itu akutak pernah
mematikan lampu kamarmu…
Komentar