Langsung ke konten utama

CERPEN 1: KAMU? ENTAHLAH!


Sudah jarang kulihat kau menangis belakangan ini. Saat aku bersandar di dadamu pun tak lagi kudengar gemuruh ombak yang dulu selalu mendebur dari jantungmu. Apa sekarang musim yang ada di hatimu sudah berubah? Masihkah hatimu itu mampu memekarkan mawar yang kutanam sejak lama, yang bahkan jauh sebelum Adam ditakdirkan untuk hempas dari surga? Bahkan kadang di dalam fantasi terliarku aku selalu membayangkan kalau kamu bukanlah dirimu yang sama seperti bertahun lalu, mungkin kamu hanyalah orang yang mirip denganmu dan mengaku-ngaku kalau itu adalah kamu, entahlah.
Setiap pagi kau selalu melaksanakan ritual sakralmu, duduk di atas kursi di balkon sambil duduk bersila dan menggenggam secangkir teh chamomile hangat kesukaanmu, sambil sesekali kau hirup aromanya tapi tanpa pernah sedikitpun bibir cangkir itu merasakan hangatnya bibirmu, kau hanya akan membiarkan aroma teh itu menguap dan menjadi dingin dalam genggamanmu. Pandangmu selalu berbinar saat menyaksikan raksasa merah itu perlahan hadir, cahayanya sedikit membias di atas kelopak matamu yang perlahan menutup, aku tahu kau mencoba menikamti setiap kecupan hangat dari cahaya yang mulai membuka semua pori di tubuhmu, lalu kau akan tetap seperti itu selama beberapa saat sampai semua embun di taman kita habis menguap. Kamu selalu melakukan itu setiap hari, bahkan jauh sebelum kita bertemu. Tapi aku merasa kini orang yang duduk di atas balkon itu, tangan yang menggenggam cangkir itu, rambut kemerahan yang disepuh cahaya matahari itu, dan binar mata coklat itu bukan milik kamu, keseluruhannya bukanlah kamu, aku merasa dihadapkan pada seorang asing yang menumpang pada diri seseorang yang aku kenal bertahun lalu, tapi lalu pendatang gelap itu mulai menjadi benalu yang mengambil semua sisi dari orang yang kukenal itu, entahlah.
Suatu malam kamu pernah mengundangku ke apartemenmu, saat aku datang kamu sudah menyiapakan dua cangkir minuman untuk kita, secangkir teh chamomile hangat favoritmu, yang aku yakin kali ini pun tak akan kau minum sama sekali dan secangkir kopi hitam yang kental untukku. Kamu duduk bersila di atas sofa sambil menggenggam cangkir yang masih hangat, mencoba merasakan energi itu tersalur melalui jari dan beredar ke seluruh tubuhmu. Mungkin waktu itu aku terlalu lelah, aku duduk sambil bersandar pada sandaran sofa dengan sedikit malas. Lalu kau mulai bercerita tentang kegiatanmu seharian ini, tentang betapa bahagianya kamu saat pergi ke pasar dan melihat bayam dan kangkung yang dijajakan di pasar. Bayam dan kangkung? Apa hebatnya, batinku. Tapi aku terlalu lelah, aku hanya tetap bersandar di sandaran sofa sambil menggenggam secangkir kopi yang sudah habis setengahnya. Lalu ceritamu mulai baur, kau bercerita tentang indahnya negeri-negeri asing yang ada di atas awan, kau bercerita tentang anjingmu yang sudah mati beberapa tahun lalu, kau bercerita tentang… entahlah, aku terlalu lelah waktu itu, aku hanya bersandar di sandaran sofa dan setengah mati mencoba bertahan agar tidak menguap, aku takut menyakiti perasaanmu, karena menguap-ku berarti protes atas semua ceritamu yang bagiku sangat membingungkan itu.
Tengah malam sudah mulai tergelincir, kamu pun perlahan menyudahi ceritamu lalu beringsut menuju kamar. Saat kamu bangun aku memperhatikan raut wajahmu yang kemerahan, dan warna bola mata coklat terang itu, dengan sisa kesadaranku yang hanya tinggal 10 watt, aku yakin kalau aku melihat gadisku yang sudah sekian lama tak kutemui dalam tubuh ini. Aku masih saja terduduk sambil bersandar pada sandaran sofa empuk ini. Kopi dalam cangkir yang ada di tanganku sudah tandas tinggal ampas, tapi rasa kantuk ini tak kunjung hilang. Dengan segenap tenaga yang tersisa aku mencoba untuk bangun dan meraih gagang pintu.
“Sayang!” katamu lirih. Aku menengok sesaat ke arahmu. “Tolong matikan lampunya!” aku tahu saat itu aku sudah kembali menemukan gadisku yang sudah hilang sekian lama. Atau mungkin justru aku yang sekarang malah hilang dari diriku, dan menjadi seperti kamu, ah… entahlah! Aku terlalu lelah malam itu, atau…
Justru malam itu akutak pernah mematikan lampu kamarmu…



                                                                                                                 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman y...

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?...

ABSURDITAS

            Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja, ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu kita.             Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita yang serba tanpa ketentuan. Skenario tak...