BLUES UNTUK JOANNA
Hari sabtu yang gerah, seperti biasa jam pelajaran terakhir gurunya tidak
bisa hadir, lagi-lagi ketua kelas disuruh mencatat materi , untuk
pelajaran minggu depan. Hal-hal seperti
ini yang membuat anak-anak bengal tidak betah berlama-lama duduk di kelas,
apalagi inikan week end, santai
sedikitlah. RonalD segera berkemas, dan menyusun strategi untuk bolos.
“ Wid, nanti malam aku ke rumah kamu ya? “ katanya sambil
mencolek pundak Wiwid.
“ Mau apa? Mau ngapelin aku, nih? “
kata Wiwid genit.
“ Nggak, aku cuma mau pinjam catatan
kamu, aku ketinggalan banyak di pelajaran pak Margo, nih. Bolehkan, Wid ? “
kata Ronal sambil mengedipkan sebelah matanya.
“ Huh, dasar kebiasaan. Ya, udah jam
delapan, aku tunggu ya!”
Setelah berpamitan dengan teman
sekelas, dan menasehati agar mereka belajar yang rajin, dia santai saja
melenggang ke arah pintu. Merapatkan sedikit tubuhnya ke dinding agar tidak
kelihatan guru piket dan segera melesat ke tangga bawah, ke arah pintu gerbang.
Sebelum ke luar tadi dia sempat berpapasan
dengan Joanna, anak baru di kelas
3 Ipa 2. Mata
mereka sempat berpandangan, dan sret
ada sesuatu, seperti lilin yang menyala dalam hatinya, tapi masih
bergoyang-goyang. Dia sadari itu. Ada
hal yang sulit untuk dijelaskan setiap menatap ke dalam mata gadis itu, tapi
dia tak pernah mau mengakuinya.
* *
* * *
Senin pagi yang cerah, seperti
bait-bait puisi indah. Ada
embun yang menetes satu-satu dari daun. Ada
burung yang riang berkicau, tapi keindahan itu segera dirusak
oleh kelakuan Ronal. Di depan gerbang sekolah dia tertangkap guru piket
kerena terlambat.
“ Cuma 20 menit, kok pak ! “
Rajuknya.
“ iya, Cuma 20 menit, tapi sering
sekali terlambat, mana baju kamu tidak dimasukkan, mau jadi apa kamu? Sebagai
hukumannya. Ayo, cepat buang sampah KE depan!” Bentak guru piket.
Membuang sampah bagi Ronal tidak
masalah. Yang jadi masalah adalah letak tempat sampah yang melewati lapangan
olah raga, dan kelas 3 IPA 2 sedang pelajaran olah raga. Joana pasti ada
disana, duh!
Di
lapangan olah raga berpasang-pasang mata memperhatikan Ronal yang
terpogoh-pogoh menenteng dua buah keranjang sampah. Ronal tak berani mengangkat
kepalanya. Dia hanya menunduk. Dia tak berani bertatapan dengan mata Joanna,
mata teduh itu, telaga itu, padahal mereka belum pernah saling menyapa.
Anak ini benar-benar beda, di balik
gayanya yang cuek, kelakuannya yang indisipliner,
tapi dia orang yang hangat, ramah dan tidak pilih-pilih dalam bergaul, Orang
yang cerdas tapi banyak masalah. Interesting
Person. Batin Joanna sambil mengikuti gerakan senam yang di pimpin Pak
Agus.
* *
* * *
Selasa pagi yang cerah, seperti
bait-bait puisi yang indah, tapi keindahan itu segera dirusak. Kamu tahulah
siapa yang merusaknya.
“Kamu lagi, Kamu lagi. Bosan Bapak
menghukum kamu!” Pak Tagor selaku guru piket menasehati Ronal. Di depan ruang
piket seorang gadis melintas, terlambat juga rupanya.
“Hei, Kau. Melengos saja. Ke sini
dulu!” Panggil Pak Tagor. Gadis
itu masuk. Oh My God. Itu Joanna. Batin Ronal. Dia
menunduk.
“Tumben kau terlambat, kau anak baru
itu kan?”
“Iya. Pak. Maaf.” Jawab Joanna
setengah berbisik.
“Ya, sudah. Kalian larilah keliling
lapangan. Kau Ronal 20 putaran, dan kau 10 putaran.”
Untuk Ronal hukuman itu sudah biasa,
Jogging-lah dianggapnya. Tapi kali
ini dengan Joanna. Ada
suara bergemuruh dalam hatinya. Aku harus berani, aku harus berani, batin
Ronal.
Di putaran ke tiga dia beranikan
diri menyapa Joanna.
“Hai, juga” Jawab Joanna. Mata mereka
beradu pandang. Ronal berusaha mengalihkan pandangannya.
“Maaf!” kata Joanna ”Apa ada yang
salah dengan wajahku? setiap kali kita beradu pandang kamu selalu mengalihkan
pandangamu, Apa wajahku menyeramkan?”
Ronal kikuk sekali mendengar
kata-kata Joanna, dia merasa tidak enak.
“Bukan, bukan itu. Aku… Aku Cuma tak
berani menatap wajahmu, itu mengingatkanku pada…”
“Pada masa lalumu?” Potong Joanna.
“Ya, dan aku hanya berusaha untuk
tidak mengingatnya”
“Apakah masa lalu itu buruk? Maaf
kalau aku berusaha mengorek masa lalumu.”
“Tidak apa, aku dulu
pernah kenal dengan seorang gadis, Amelia namanya. Dia sudah lama pergi, tapi
sampai sekarang aku belum bisa menerima kepergiannya. Senyum dan tatapan
matanya persis seperti kamu. Maaf bukan maksud membandingkan…”
“Jadi itu yang membuat kamu berubah
dari anak yang baik menjadi nakal, dari rajin menjadi malas.”
“Kamu tahu dari mana?”
“Sorry, selama ini banyak dengar
cerita kamu dari Muri, teman sekelas kamu. Dia kan tetanggaku, jadi kami sering pulang
bareng.”
Awas kau, Mur. Tapi thanks juga ya!
Batin Ronal.
Hukuman pagi itu selesai dan ditutup
dengan appointment bahwa malam minngu
nanti Ronal akan mampir ke rumah Joanna.
* * * * *
Malam minggu. Ronal sudah berdiri di
depan sebuah rumah dengan pekarangan rumput hijau yang indah. Ronal memencet
bel, dan dari balik pintu muncul wajah Joanna, lengkap dengan senyumnya.
“ Hai, masuk
dong” ajak Joanna.
“ OK”
Ronal masuk ke ruang tamu, ada
pemandangan yang menarik perhatiannya, koper-koper sudah berjajar rapi.
“ Siapa yang mau pergi?” Tanya
Ronal.
“ Kami sekeluaga mau pindah ke Sulawesi, Papa dimutasikan dari kantornya.”
“ Kita tidak bisa satu sekolah lagi
dong?”
“ Nal, yang penting bukan kita satu
sekolah atau tidak, bukan intensitas pertemuan kita, tapi apa yang ditingalkan
setelah kita pergi, itu yang penting.”
“Kapan berangkatnya?”
” Minggu pagi.”
” Minggu pagi.”
“ Kalau aku kangen,
bolehkan aku ingat senyum kamu?”
” Kamu lucu ya. Ya, bolehlah, dan ingat sebentar lagi ujian, kamu harus rajin
” Kamu lucu ya. Ya, bolehlah, dan ingat sebentar lagi ujian, kamu harus rajin
belajar.
Kenangan tentang Amelia, simpanlah. Jangan dijadikan hambatan. Akan ada orang
lain yang keluar dan masuk dalam hidup kamu, dan kamu tak akan pernah menjadi
orang yang sama lagi.”
Malam cepat merangkak, Ronal
berpamitan. Sebelum menutup pintu Joanna sempat tersenyum. Mungkin senyum yang
terakhir untuk Ronal.
Akan ada orang yang datang dan pergi
dalam hidup kita, dan kita tak akan pernah sama lagi. Bait puisi kehidupan
harus terus berjalan, ya harus…
Komentar