“Uwak…” kataku sambil
berleleran air mata. “Harus saya cari kemana lagi?”
Uwak hanya tersenyum
sambil tetap memelintir biji tasbih di tangan kanannya.
*****
“Kang. Saya lihat ada
di pasar, Kang!” Salman tiba-tiba menyeruak dari arah pintu.
“Serius, Kang?” tanyaku
penuh harap.
“Iya, Kang. Ayo buruan
saya antar sekarang ke pasar.”
Tergesa-gesa aku
menyambar jaket yang tergantung di pintu.
Tidak
berapa lama kami sudah sampai di pasar.
“Di
mana, Kang?” tanyaku tidak sabar.
Kang Salman menarik tangan
dan menyeret tubuh lelahku memasuki area pasar yang ramai. Menelusuri gang-gang
pasar yang becek dan bau sayuran busuk. Di ujung pasar kami berbelok ke kanan.
Sekitar dua belas meter dari tempat kami berdiri, sebuah toko agen beras paling
besar di kota ini, bersebelahan dengan lapak kelapa parut. Toko berasku.
“Di sana kang.” tunjuk
Salman penuh percaya diri.
Aku tertunduk. Bukan di
sini, batinku. Aku berbalik, meninggalkan Salman yang masih terbengong-bengong
dengan sikapku.
Sudah hampir satu bulan
aku tinggalkan toko berasku, aku biarkan Siti yang mengurus semuanya. Targetku
dalam satu bulan ini hanya satu, mencari yang hilang.
Sesampai di rumah, aku
langsung meminta istriku untuk membuatkan kopi hitam. Sambil duduk di teras
ditemani rokok kretek, coba aku ingat-ingat kapan terakhir kali menggenggam
yang hilang itu.
“Sudah ketemu, Kang?”
tanya istriku sambil menaruh gelas kopi di meja.
Aku mengeleng.
“Yang sabar, Kang.
Mungkin Gusti Allah sedang menguji Akang sekarang.”
Aku mengangguk. Aku
selalu bersyukur sudah menikahinya tujuh tahun lalu. Sebagai istri seorang
juragan beras yang nama dan kekayaannya termahsyur sampai pelosok kampung,
istriku terbilang bersahaja. Kesederhanaannya hampir sama dengan istri Bang
Amir yang tukang pembuat cobek batu.
Sehari-harinya dia hanya memakai kebaya sederhana dengan jilbab panjang dari
kain kasar. Aku beruntung memilikinya.
“Tadi Akang dari mana
sama kang Salman?” tanyanya.
“Dari Pasar.” Jawabku
pendek. Pikiranku masih tetap berusaha mengingat-ingat benda yang hilang.
Istriku hanya tersenyum
lalu menggenggam tanganku.
“Jangan menyerah, Kang. Nyai selalu
mendoakan yang terbaik buat Akang.” Bisiknya lembut sebelum masuk ke dalam
rumah.
Keesokan paginya saat
memberi makan ikan di empang belakang rumah, Salman datang lagi dengan info
yang baru.
“Ada info apalagi, Kang?”
tanyaku sambil menyeret karung berisi pelet makanan ikan ke pojok.
“Ada info dari orang
kepercayaan saya, Kang. Katanya yang sedang akan cari terakhir terlihat di
kantor polisi, Kang.” jawab Salman.
“Kali ini kamu yakin,
Man?” tanyaku penuh selidik.
Salman mengangguk sambil menunduk. Kali
ini dia tidak berani menatap mataku. Sudah empat kali informasi yang dia
berikan meleset, tapi mau bagaimana lagi, Salman adalah orang yang memiliki
koneksi di mana-mana. Statusya sebagai preman di masa lalu dan orang yang
dikenal karena kebrengsekannya menjadikan Salman orang yang ditakuti sekaligus
dikenal.
“Sekarang kita ke
kantor polisi, biar saya telepon Mas Bimo dulu.” Kataku.
“Siap, Kang.” kata
Salman sambil mengekor di belakangku.
Sampai di kantor
polisi, Mas Bimo sudah menungguku di dekat pos jaga. Saat memasuki gerbang
kantor polisi beberapa orang menyalamiku. Hubunganku dengan pihak kepolisian
memang selalu terjaga baik, selain statusku sebagai orang paling kaya di
kampung, aku juga beberapa kali memberikan sumbangan materi setiap pihak
kepolisian mengadakan acara.
“Ada yang bisa saya
bantu, Kang?” tanya Mas Bimo ramah.
“Begini, Mas. Saya
dapat info dari Salman kalau yang saya cari ada di sini.” kataku.
Kening Mas Bimo
berkerut.
“Kamu dapat info dari
mana, Man?” tanya Mas Bimo kepada Salman.
“Anu, dari si Parjo.
Orang kepercayaan saya, Mas.” jawab Salman dengan nada ragu.
“Begini, Kang.” Mas
Bimo menahan sebentar kata-katanya. “Laporan Kang Aep tentang yang hilang sudah
kami daftrakan dan sekarang semua intel kami sedang keluar masuk kampung sampai
pelosok untuk mencari informasi. Kalau ada titik terang pasti akan langsung
saya sampaikan pada Kang Aep.”
“Jadi masih belom ada
titik terang, Mas?” Tanyaku dengan nada kecewa.
Mas Bimo menggeleng.
“Salman, sudahlah.
Jangan kamu beri informasi aneh-aneh lagi sama Kang Aep. Kasian beliau menjadi
terlalu berharap.” kata Mas Bimo kepada Kang Salman.
Salman yang disindir
Mas Bimo hanya menunduk.
Setelah urusanku selesai
di kantor polisi aku langsung pulang, Kang Salman minta ijin untuk kembali
‘bergerilya’ mencari remah-remah informasi yang barangkali bisa membantu.
Sebagai seorang tangan
kanan, kuakui Salman memang loyal, dia siap pasang badan untukku, kapanpun, di
manapun.
Sampai di depan rumah
aku di sambut Cikal, anak bungsuku.
“Bapak..!” teriaknya
dengan nada gembira sambil menghambur dari arah pintu.
Aku berlari kecil
menyongsongnya, menangkap tubuh kecil itu dan melambung-lambungkan beberapa
kali ke udara. Cikal berteriak-teriak kegirangan. Sudah hampir satu bulan aku
mencari-cari yang hilang. Berarti hampir satu bulan juga aku terlupa dengan
Cikal, si sulung Gilang dan istriku. Pencarian ini sudah benar-benar menguras
pikiranku.
“Bapak cekalang kulus.”
katanya dengan suara cadel sambil mengelus-elus boneka kelinci kesayangannya.
Kuajak cikal masuk ke
rumah. Makan siang sudah terhidang.
“Sini, Cikal bapak
pangku.” kataku.
Cikal segera beringsut
dari tempat duduknya dan duduk di pangkuanku.
“Bapak suapin ya.”
Sibungsu mengangguk.
Duh, Gusti. Sudah
berapa lama aku tidak makan berkumpul seperti ini lagi.
“Gilang ke mana, Bu?”
tanyaku sambil menyuapi menyuapi Cikal.
“Belum pulang sekolah,
Kang.” Sahut istriku dari arah dapur.
“Sekolahnya gimana?”
“Alhamdulillah, Kang.
Sudah mulai mandiri, hampir dua minggu ini selalu menolak kalau mau diantar
sekolah.”
Syukurlah, batinku.
“Gimana, Kang. Sudah
ketemu?” tanya istriku sambil meletakkan ikan asin di samping bakul nasi.
“Belum, Bu.” jawabku
dengan raut muka sedih.
“Akang sudah mencoba
bertanya kepada Uwak?”
“Uwak?” tanyaku sambil
mencoba mengingat-ingat sebuah nama.
“Guru ngaji Akang waktu kecil dulu.”
“Oh, iya Bu. Kenapa
Akang sampai lupa ya.” kataku. “Baiklah, sehabis Isya Akang mau berkunjung ke
rumah Uwak.”
Sehabis isya, diantar
Salman naik motor aku berkunjung ke rumah Uwak. Letaknya agak jauh ke pelosok.
Sebuah dusun kecil tempat aku menghabiskan masa kecilku.
“Assalamualaikum.” Aku
mengucap salam di depan pintu sebuah rumah kecil yang dipagari taman beraneka bunga
itu.
“Waalaikum salam
warahmatullah.” terdengar suara serak menjawab dari dalam. Itu suara Uwak, aku
masih bisa mengenalinya.
Pintu terbuka.
“Masuk Aep, Salman.”
kata Uwak. Wajahnya sudah mulai keriput sekarang. Janggut putihnya semakin
lebat.
“Duduklah.” kata Uwak
mempersilakan kami.
Kami duduk di hadapan
Uwak. Wajah Uwak tetap cerah seperti terakhir aku ingat, tatapan matanya yang
teduh dan senyum yang selalu menghiasi wajanhnya tidak berubah sama sekali.
“Alhamdulillah,
ternyata kamu sudah tumbuh jadi pemuda yang gagah sekarang, Aep.” Uwak sedikit
berbasa-basi.
“Alhamdulillah juga
kamu masih ingat sama Uwak.”
Aku merasa tertampar.
Kutundukkan kepalaku dalam-dalam.
“Ada perlu apa Aep
datang malam-malam begini?” tanya Uwak sambil sesekali mengelus janggut
putihnya yang panjang.
“Aep mau menanyakan
sesuatu, Wak. Yang hilang.” jawabku dengan sedikit ragu.
“Aep sudah cari ke mana
saja?” tanya Uwak lagi.
“Sudah Aep cari
kemana-mana, Wak. Sampai ke pelosok-pelosok. Ke pasar, kantor polisi, nihil,
Wak.” jawabku lagi.
“Aep yakin sudah
mencari ke semua tempat?”
Aku mengangguk.
Uwak memajukan wajahnya
ke hadapanku.
“Carilah ke tempat yang
paling dekat, Aep. Yang selama ini hilang ada di situ.”
Uwak tetap tersenyum sambil menatap
lembut ke dalam bola mataku. Ada sesuatu yang tiba-tiba menohok dari dalam
perut, lalu menyesak di dada, tenggokanku mendadak kering. Tak ada yang bisa
aku sembunyikan di hadapan orang tua yang sudah menjadi guru ngajiku selama
bertahun-tahun ini.
“Uwak…” kataku sambil
berleleran air mata. “Harus saya cari kemana lagi?”
Uwak hanya tersenyum
sambil tetap memelintir biji tasbih di tangan kanannya.
“Ketahuilah, Aep. Uwak
selalu mendoakan kamu, mendoakan murid-murid Uwak semuanya. Mungkin doa Uwak
sekarang sudah diijabah sama Gusti Allah. Yang kamu cari-cari tidak jauh dari
kamu.”
Aku hanya diam
mendengarkan penjelasan Uwak.
“Yang hilang itu dekat
sekali, Aep. Tapi kamu lupa. Kamu terlalu sibuk dengan pasar, dengan toko beras
kamu. Merasa ujub dengan statusmu sebagai orang paling kaya di kampung.
Sekarang tengok ke dalam batin kamu, yang kamu cari ada di situ. Dia
memanggil-manggil namamu tiap pagi dan petang. Sekarang kembalilah ke fitrah
kamu.”
Kang Salman berbisik ke
arahku. “Memangnya yang selama ini Akang cari apa?”
Tampaknya Uwak
mendengar perkataan Kang Salman.
“Iman, Salman. Kang Aep
sedang mencari imannya yang selama ini hilang. Alhamdulillah sekarang Allah
sudah membukakan pintu rahmatnya untuk Kang Aep.”
Kang Salman tertunduk
mendengar penjelasan Uwak.
Aku mendengarkan semua
perkataan Uwak dengan takzim. Tak dapat kutahan lagi air mata ini. Aku menangis
sesegukan, menyadari kebodohan dan kealfaanku selama ini.
Uwak tetap tersenyum.
Aku tengok Kang Salman. Dia juga menangis sesegukan sepertiku. Sekarang aku
sadar, pada beberapa titik pertemuan dalam hidup, kadang manisfestasinya adalah
tangisan. Tangisan yang membebaskan. Tangisan yang mencerahkan. Aku paham
sekarang.
Komentar