Sudah
hampir tengah hari, pasar sudah sepi. Aku dan lelaki tua itu masih duduk di
anak tangga paling atas menuju pasar. Angin semilir yang sejuk menggoyangkan
pucuk-pucuk pohon jambu air yang banyak tumbuh di pinggir pasar. Kami tetap
duduk di tempat ini dalam diam sambil berlindung di bawah atap gerbang pasar
yang terbuat dari genting-genting sangat tua, dari desain dan banyaknya lumut
yang tumbuh pada pernukaannya bisa kuebak usia gerbang pasar ini sudah berumur
puluhan tahun.
Di
anak tangga paling bawah, puluhan burung gereja melompat-lompat riang sambil
memunguti remah-remah roti dan sayuran yang tercecer. Sekitar seratus meter
menuju arah keluar dari pasar, sebuah jembatan dengan panjang sekitar empat
meter terbentang di atas sungai yang airnya masih jernih. Jembatan ini diapit
oleh dua buah pohon willow di setiap sisinya sehingga kesan sejuk dan
menenangkan selalu dirasakan setiap orang yang melintas di atasnya.
“Burung
gereja, Imran.” Katanya tiba-tiba sambil menunjuk ke arah burung gereja yang
mulai pergi satu-satu mencari tempat lain untuk mencari makan.
“Ada
apa dengan burung gereja?” tanyaku.
Dia
memejamkan matanya, seolah-olah ingin kembali mengingat ceritanya yang sempat
terputus.
“Sore
itu suasana sedang berangin saat aku berdiri di atas jembatan kota Mostar. Farras
datang ke arahku sambil membawa remah-remah roti di dalam sebuah mangkuk yang
terbuat dari tembikar berwarna kecoklatan. Matanya yang cerlang dan rona
pipinya yang kemerahan menyihirku.
“Puluhan
burung gereja entah dari mana datangnya tiba-tiba saja mengepung kami,
berciak-ciak dan menari-nari dengan riang di atas lantai jembatan. Farras dengan
gerakan anggun melemparkan remah-remah roti itu dan langsung disambut oleh
puluhan burung gereja dengan bahagia. Mereka berebutan saling menindih,beberapa
ekor sempat terjatuh. Aku dan Farras tertawa menyaksikan tingkah laku mereka.”
“Jadi
kamu orang yang sering diceritakan ayah?” tanyanya tiba-tiba ke arahku.
“Ayah?”
tanyaku dengan nada tidak mengerti.
“Beg.”
Jawabnya singkat.
“Ah,
ya. Beg. Lelaki baik yang menyambutku seperti anaknya sendiri di rumahnya yang
dipenuhi berkah. Semoga kebaikan dan kasih Tuhan selalu mengucur kepadanya.”
“Dari
mana asalmu?”
“Dari
sana.” Jawabku sambil menunjuk ke arah timur. “Dari sanalah asalku, dari sebuah
negeri yang sama indahnya dengan negerimu ini. Sebuah negeri jauh, dimana
jari-jari Tuhan membelai lembut tanahnya hingga subur.”
“Benarkah?”
tanya Farras dengan mata berbinar.
Aku
mengangguk.
“Hai,
orang asing, bisakah kamu ceritakan tentang negerimu itu?”
“Baiklah
akan aku ceritakan.”
“Tapi
jangan sekarang.”
“Kapan
pun kamu ingin mendengarnya.”
“Malam
ini, setelah shalat Isya datanglah ke rumah kami, ayah mengundangmu untuk makan
malam.” katanya sambil berlalu. Di ujung jembatan dia sempat menoleh ke arahku,
kerlingan matanya tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Benar-benar indah.
Komentar