Langsung ke konten utama

MENJARING MATAHARI - PART 3



Sudah hampir tengah hari, pasar sudah sepi. Aku dan lelaki tua itu masih duduk di anak tangga paling atas menuju pasar. Angin semilir yang sejuk menggoyangkan pucuk-pucuk pohon jambu air yang banyak tumbuh di pinggir pasar. Kami tetap duduk di tempat ini dalam diam sambil berlindung di bawah atap gerbang pasar yang terbuat dari genting-genting sangat tua, dari desain dan banyaknya lumut yang tumbuh pada pernukaannya bisa kuebak usia gerbang pasar ini sudah berumur puluhan tahun.

Di anak tangga paling bawah, puluhan burung gereja melompat-lompat riang sambil memunguti remah-remah roti dan sayuran yang tercecer. Sekitar seratus meter menuju arah keluar dari pasar, sebuah jembatan dengan panjang sekitar empat meter terbentang di atas sungai yang airnya masih jernih. Jembatan ini diapit oleh dua buah pohon willow di setiap sisinya sehingga kesan sejuk dan menenangkan selalu dirasakan setiap orang yang melintas di atasnya.

“Burung gereja, Imran.” Katanya tiba-tiba sambil menunjuk ke arah burung gereja yang mulai pergi satu-satu mencari tempat lain untuk mencari makan.

“Ada apa dengan burung gereja?” tanyaku.

Dia memejamkan matanya, seolah-olah ingin kembali mengingat ceritanya yang sempat terputus.

“Sore itu suasana sedang berangin saat aku berdiri di atas jembatan kota Mostar. Farras datang ke arahku sambil membawa remah-remah roti di dalam sebuah mangkuk yang terbuat dari tembikar berwarna kecoklatan. Matanya yang cerlang dan rona pipinya yang kemerahan menyihirku. 

“Puluhan burung gereja entah dari mana datangnya tiba-tiba saja mengepung kami, berciak-ciak dan menari-nari dengan riang di atas lantai jembatan. Farras dengan gerakan anggun melemparkan remah-remah roti itu dan langsung disambut oleh puluhan burung gereja dengan bahagia. Mereka berebutan saling menindih,beberapa ekor sempat terjatuh. Aku dan Farras tertawa menyaksikan tingkah laku mereka.”

“Jadi kamu orang yang sering diceritakan ayah?” tanyanya tiba-tiba ke arahku.

“Ayah?” tanyaku dengan nada tidak mengerti.

“Beg.” Jawabnya singkat.

“Ah, ya. Beg. Lelaki baik yang menyambutku seperti anaknya sendiri di rumahnya yang dipenuhi berkah. Semoga kebaikan dan kasih Tuhan selalu mengucur kepadanya.”

“Dari mana asalmu?”

“Dari sana.” Jawabku sambil menunjuk ke arah timur. “Dari sanalah asalku, dari sebuah negeri yang sama indahnya dengan negerimu ini. Sebuah negeri jauh, dimana jari-jari Tuhan membelai lembut tanahnya hingga subur.”

“Benarkah?” tanya Farras dengan mata berbinar.

Aku mengangguk.

“Hai, orang asing, bisakah kamu ceritakan tentang negerimu itu?”

“Baiklah akan aku ceritakan.”

“Tapi jangan sekarang.”

“Kapan pun kamu ingin mendengarnya.”

“Malam ini, setelah shalat Isya datanglah ke rumah kami, ayah mengundangmu untuk makan malam.” katanya sambil berlalu. Di ujung jembatan dia sempat menoleh ke arahku, kerlingan matanya tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Benar-benar indah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U