Satu pertanyaan yang
paling sering ditanyakan orang dan sekaligus paling malas saya jawab :
Siapa kamu ?
Seolah dari ratusan ribu kosa kata yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bisa dirangkum hanya dalam dua kata dan satu tanda tanya di ujungnya.
Siapa kamu ?
Begitu luar biasa bencinya saya sampai-sampai mengabdikan seperempat jatah hidup saya sampai saat ini hanya untuk mencari jawaban atas satu pertanyaan.
Siapa kamu ?
Dua kata ditambah satu tanda tanya di ujungnya tapi bisa melesakkan mahkluk paling jenius sekalipun ke dalam ranah imbisil yang parah.
Pertanyaan yang menyeluruh, mempertanyakan sekaligus menghakimi secara tragis eksistensi seorang manusia. Pertanyaan mematikan yang jika salah memilih jawaban akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru. Pertanyaan yang melahirkan bifurkasi lalu menciptakan bifurkasi lainnya yang bercabang banyak dan bertumpuk-tumpuk.
Siapa kamu ?
Sampai pada titik tertentu di tahun terakhir saya menyerah. Jika ada yang bertanya dengan dua kata ditambah satu tanda tanya di ujung itu biasanya saya memilih jawaban terbaik: tersenyum lalu mengalihkan topik pembicaraan.
Lalu gadis itu hadir. Bersama dia saya diajak naik roller coaster, meliuk-liuk dalam semesta pikirnya yang asing. Tatapannya adalah tatapan polos anak-anak kecil yang mengamen di perempatan jalan. Gaya bicaranya adalah gaya bicara seorang ibu yang sedang menina-bobokan anak semata wayangnya.
Dia adalah juru bicara baru bagi saya saat harus menghadapi pertanyaan berat dan kritikan yang menghancurkan. Di hadapannya saya tak perlu menjelaskan apa-apa pada dunia. Dia adalah energi yang menguatkan yang membuat semua struktur sendi dalam kehidupan saya bergerak dengan dinamis dalam kungkungan harmoni yang manis.
Jika nanti ada orang bertanya kepada saya perihal siapa kamu, maka saya tak perlu repot-repot lagi menjelaskan atau sibuk mengalihkan pembicaraan. Saya akan memalingkan wajah saya pada gadis itu sambil berkata :
“Lihatlah bagaimana dia takzim sambil membolak-balik halaman buku yang sudah puluhan kali dia baca sampai khattam.”
“Lihatlah bagaimana mulutnya asyik mengunyah kue kering sambil menatap bianglala sehabis hujan di belakang rumahnya.”
“Lihatlah sehebat apa tangisannya saat berdoa seolah-olah itu adalah permintaan terakhirnya di dunia.”
“Lihatlah tawanya yang berderai dan pipinya yang merona merah saat saya goda.”
“Lihatlah amarahnya yang meledak-ledak saat saya singgung tentang berat tubuhnya yang hanya naik setengah kilo.”
“Lihatlah! Lihatlah dia! Itulah saya.”
Dia telah mendifinisikan diri saya secara utuh, penuh, tanpa kata-kata.
Semestinya tak perlu lagi ada pertanyaan siapa kamu karena semua saya sudah ada dalam dia.
……. Dan pencarian saya atas saya selesai sudah…….
Komentar
Anak lo yaa?!
Ehh, keceplosan~