Seorang teman pernah bercerita kalau beberapa tahun terakhir dia banyak menghabiskan waktu berkeliling Indonesia. Mengunjungi tempat-tempat eksotis. Mendaki gunung, mandi matahari, menyelam, bermain ombak, sampai masuk ke pedalaman dan bertemu suku-suku terasing. Saya berdecak kagum, begitu banyak yang sudah dia lihat pasti begitu kaya batinnya dengan beragam pengalaman selama perjalanan.
Di luar perkiraan, pengakuan mengejutkan meluncur dari bibirnya, ternyata dia tidak merasa bahagia, perjalanannya kosong melompong. Tubuhnya pergi berkeliling ke seluruh negeri, tapi hatinya tetap tertambat dalam kamarnya yang sempit dan sesak. Jejak kakinya ada di mana-mana tapi ruhnya terperosok dalam sumur gelap, mengiba-iba meridu cahaya.
Pada titik ini saya mulai berpikir, mencerna baik-baik semua yang dia ceritakan. Mentok, buntu, saya tidak bisa mencari korelasi atas kejadian yang menimpa dirinya. Bukankah dengan semakin banyak kita mengunjungi tempat baru, bertemu orang-orang baru justru batin kita akan semakin kaya. Kenapa teman saya ini malah mendapatkan yang sebaliknya?
Saya mencoba menimang-nimang sebuah paradoks sederhana. Mencoba membalikan situasi jika hasil dari aksi yang kita lakukan ternyata tidak membuahkan hasil seperti yang kita harapkan.
Dalam dunia yang serba rumit ini kita tidak bisa menebak pasti hasil dari sebuah aksi. Tidak ada yang ajeg. Selalu ada fenomena baru yang tercipta dan semua pengetahuan manusia yang katanya sudah hampir sempurna harus mengambil jalan di pinggir, mengalah. Satu tambah satu belum tentu hasilnya dua, bisa saja jadi tiga, lima, sepuluh atau mungkin malah satu. Jika yang ditambahkan itu adalah satu betina dan satu jantan. Individu yang tinggal satu-satunya di dunia belum tentu akan punah, itu dimungkinkan jika makhluk tunggal itu adalah amuba yang bisa membelah diri. Tak ada yang ajeg, tak ada yang pasti. Manusia dengan otaknya yang terbatas hanya bisa mengira-ngira dengan semua materi empiris yang ada.
Jalan terbaik untuk menjawab masalah teman saya ini adalah dengan membangun sebuah paradoks baru. Paradoks terbalik dari yang sudah ada sebelumnya. Jika dia sudah berjalan-jalan ke pelosok negeri tapi tak menemukan apa-apa. Lebih baik dia diam di rumah saja. Apakah dia akan bahagia? Belum tentu juga. Nah, semakin rumit kan?
Dislokasi diri adalah satu-satunya jalan. Dia harus tersesat dalam kepenatan, kemampuan alokasi dirinya harus di non aktif-kan agar dia bisa menemukan sesuatu yang baru, sensasi. Sensasi adalah inti kebahagiaan. Analoginya saya dapatkan saat saya berkunjung ke Jogjakarta. Selama mengunjungi tempat-tempat baru di Jogjakarta saya menemukan hal-hal baru, sensasi baru yang tidak bisa saya dapatkan di jakarta. Saya bahagia. Berkebalikan dengan saya, orang Jogjakarta merasa biasa saja karena mereka sudah biasa dengan suasana Jogjakarta, mereka malah penasaran ingin melihat tugu monas yang ada di Jakarta dan saya berani bertaruh mereka akan berdecak kagum saat melihat tugu emas yang berkilauan itu. Mereka mendapat sesansi baru yang belum pernah mereka rasakan. Mereka bahagia.
Sebagai tambahan, menurut para filsuf kebahagiaan itu tidak bisa dicari tapi diciptakan. Saya terkagum-kagum, lagi-lagi mereka benar. Kebahagiaan harus diciptakan bukan dicari. Khalil Gibran malah menyarankan agar kita mencari kebahagiaan kita dengan mabuk-mabukan. Bukan mabuk dalam arti sebenarnya. Semua hal di dunia ini setiap saat selalu memaksa kita merunduk, mendesak kita agar kecewa, marah dan resah. Untuk menangkalnya, maka mabuklah sampai semabuk-mabuknya. Mabuk dengan apa? Apa saja. Mabuklah dengan hal yang membuatmu bahagia.
Jika kamu seorang penulis, maka mabuklah dengan tulisanmu. Menulis sampai menemui batasmu, sampai mabuk, sampai kamu merasa bahagia. Jika kamu seorang guru, mabuklah dengan ilmu, mabuklah sampai cawan di otakmu penuh dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Mabuklah dengan anggur ilmu sampai kamu benar-benar mabuk dan bahagia. Mabuklah!
Bahagia itu hanya sensasi saraf saat ditonjok endorfin dan aliran darahmu banjir serotonin. Tak ada hal apapun di dunia yang bisa membuatmu bahagia kecuali dirimu sendiri dan otak yang memproduksi endorfin dan serotonin. Tuhan sudah menciptakan manusia sebegitu sempurna. Manusia tidak butuh apa-apa kecuali dirinya sendiri dan Penciptanya untuk bahagia.
Pertanyaan berikutnya hadir lagi, bagaimana kalau semua paradoks di atas gagal, masih belum bisa menghadirkan kebahagiaan? Atas perntanyaan seperti ini saya hanya bisa memberikan pilihan terakhir. Menabunglah yang banyak untuk bekal. Kalau sampai detik ini kamu masih belum bahagia juga berarti ada sebuah rindu luar biasa yang tertahan dan harus dilampiaskan. Ada sesuatu yang ingin kamu tanyakan dan kamu benar-benar butuh jawaban. Menabunglah dan pergilah ke tanah suci. Menangislah sejadi-jadinya di sana. Ungkapkan rindumu yang luar biasa itu. Berteriaklah, teriakan pertanyaanmu dengan lantang. Aku yakin kamu pasti akan merasa bahagia. Insya Allah.
Jika masih belum bahagia juga?... tanyakan pada diri kamu sendiri, apakah kamu masih layak disebut manusia?
NB: semoga kamu bahagia kawan.
Komentar