Kalau kamu percaya takdir, maka kamu juga harus percaya
dengan cerita kita. Kita adalah anak-anak kesayangan takdir. Bayangkan saja,
ada ribuan gedung di jakarta. Ada lebih dari sembilan juta manusia bersesakan
di kota ini setiap harinya. Tapi takdir memilih kita untuk menjadi pemeran
utama dalam drama kolosalnya. Kita, dua manusia kesepian yang terus berusaha
meledakkan tawa dalam kesunyian. Kita, dua orang yang selalu menyelipkan belati
di bawah bantal, takut mimpi buruk yang mencekam akan membuyarkan harapan semu
kita.
Kita, aku dan kamu. Dua orang pilihan takdir yang diminta
melakoni peran akbar dalam drama kolosalnya. Sayangnya takdir hanya memilih
acak tanpa audisi apalagi melatih kita sebelumnya. Jadilah kita berdua
terseok-seok, berdarah-darah, menangis sesegukan dalam memerankan tokoh kita
yang serba tanpa ketentuan. Skenario takdir tidak pernah bisa kita baca, kita
hanya memerankan semuanya atas dasar bisikan gaibnya.
Kamu selalu berperan sebagai wanita yang menanti tapi
tanpa pernah bisa berekspresi. Semua harapamu hanya bisa kamu tuliskan pada
buku harian atau coretan di atas pasir pantai sebelum tersapu ombak. Semua perasaanmu
tak pernah mampu aku baca, aku tidak tahu apa maumu atas hubungan ini. Sedangkan
aku dipaksa memerankan laki-laki yang memiliki setengah hati, acuh tak acuh,
apatis, terlalu tenggelam pada duniaku sendiri. Tenggelam terlalu dalam, samapi
lupa bernafas dan megap-megap meregang harapanku sendiri. Aku secara tersirat
berperan seperti kamu: lelaki yang tidak bisa berekspresi secara
terang-terangan, takut komitmen.
Tapi jangan pernah bilang aku tidak perhatian, tidak
terhitung kulihat dan kucatat matamu selalu sembab setiap mendapati undangan
pernikahan teman atau kerabat. Aku tahu dalam hatimu selalu bertanya tanya, “Kapan
aku mendapat giliran berdiri di atas altar, dengan gaun putih berenda yang
berkibar-kibar? Apa takdir lupa memasukkan adegan pernikahan untukku dalam
drama kolosal yang aku mainkan?”
Umurmu genap dua puluh tujuh beberapa bulan lagi. Angka
keramat. Angka pemisah antara kehidupan dan kematian. Setiap menyebut angka itu
matamu akan nanar lalu berair dan hidungmu mulai kembang kempis. Aku tahu, aku
tahu apa yang kamu rasakan. Aku tahu, aku tahu apa mau kamu. Aku juga tidak
seapatis itu. Aku sudah berkhianat pada tuntutan peran takdir.
Dalam angan-anganmu kamu berharap ada seorang lelaki yang
berlutut di hadapanmu, di tengah keramaian pasar malam, disaksikan ratusan pasang mata. Lelaki
itu berkata lembut, “Maukah kau menikah denganku?” dan dengan gaya seperti bidadari kamu akan berpura-pura kaget, lalu
mengangguk perlahan dan suara gemuruh tepuk tangan membahana dari semua penjuru.
Di detik itu kamu jadi putri, dan di hari esok dan sesudahnya kamu akan jadi
ratu.
Atau suatu ketika
kamu sedang makan bakso seperti biasa untuk mengisi malam minggu, saat
mengunyah bakso terbesar gigimu terantuk sesuatu dan saat kamu muntahkan
ternyata isinya cincin. Lelaki di hadapanmu menepukkan tangannya ke udara dan
serombongan pemain gitar, pemain biola dan penyanyi datang dari arah dapur
sambil menyanyikan lagu Marry Me. Lagi-lagi
matamu berair dan hidungmu kembang kempis. Di detik itu kamu sadar, efek dari
kesedihan yang berlarut-larut dan bahagia yang melambung itu sama: air mata.
Tapi lupakanlah, aku tak seromantis itu. Aku lelaki yang
didesain Tuhan dengan selera aneh. Aku tak suka opersa sabun, sinetron apalagi
telenovela. Lupakanlah khayalan gila dilamar dengan cara-cara di atas, mustahil
rasanya untuk aku dan kamu. Paling-paling aku hanya berani melamar lewat SMS,
atau kalau mau sedikit berkorban aku akan ajak kamu ke kebun binatang, di depan
kandang monyet aku nyatakan perasaan. Aku jadi Tarzan dan kamu Jane. Tidak ada
putri-putrian apalagi ratu-ratuan. Bukan maksud merendahkan. Tidak! Tapi sehebat
itu saja yang aku bisa. Semoga kamu mahfum. Atau bisa juga aku sedikit menebar
romansa, aku ajak kamu ke pantai, disaksikan cahaya bulan dan deburan ombak aku
lamar kamu, tapi sesudahnya kamu pasti masuk angin, demam dan pilek. Itu aku
tidak mau, romantis tapi penyakitan.
Aku sadar cepat atau lambat, saat itu pasti datang. Aku tak pernah tahu aku akan siap atau tidak.
Makanya harus aku putuskan sekarang juga. Malam ini. Aku ajak kamu ke taman,
kita duduk di akar pohon akasia. Bermenit-menit kita berhadapan muka tapi tanpa
kata. Terus saja begitu sampai bermenit-menit ke depan. Kamu menunggu sedangkan
aku ragu.
“Maaf kita harus selesai. Kita putus. Tamat. Tak ada
harapan.” Semudah itu saja, semua selesai. Kata-kataku meluncur lugas, tanpa
tedeng aling-aling, tanpa jeda. Bermenit-menit setelah itu hening. Aku dan kamu
tak ada yang berani buka suara. Suara jangkrik dan desiran angin terasa
bergemuruh menguasai udara. Kita terlalu hening. Aku menunggu saat-saat kamu
meledak. Menunggu kamu berburai-burai air mata.
“Menurutmu,
di mana kita akan berakhir? Bukankah semua yang sudah dimulai harus berakhir? Kalau
kamu merasa tidak ada akhirnya, mungkin itu hanya karena kita belum memulai
apa-apa…”
Itu saja. Tak ada amarah. Tak ada air mata. Tak ada
sumpah serapah apalagi makian. Kata-kata yang keluar dari bibirmu yang selalu
diam jauh di luar perkiraan.
Aku berdiri, kamu tetap duduk. Aku ulurkan tangan. Kamu diam.
Bermenit-menit kita seperti itu, lalu kamu berdiri. Tiba-tiba aku rindu, rindu
yang teramat sangat pada sosok yang kini ada di hadapanku. Aku peluk tubuhmu
lekat-lekat. Kamu diam.
“Bukankah semua sudah selesai?” bisikmu pelan.
“Iya. Semua sudah selesai. Tak ada kamu atau aku lagi,
tapi kita. Tak ada lagi sepasang kekasih, tapi pengantin. Tak ada lagi
perjalanan yang tanpa akhir, sekarang kita sudah berdiri di tepian, tak ada
lagi jalan selain menikung dan masuk ke dalam altar pernikahan. Maukah kamu
menjadi istriku?”
Mendadak pelukanmu di punggungku begitu erat, aku hampir
tak bisa bernafas dalam rengkuhanmu. Leherku basah oleh air mata, di taman yang
hening ini suara tangismu begitu jelas, kamu sesegukan. Menangis sejadi-jadinya.
Harapanmu mewujud, juga harapanku. Peran kita sudah tuntas. Kita sudah
memainkan peran yang diberikan oleh sang takdir dengan begitu baik, begitu
sempurna. Kita layak dapat oscar.
Aku kini sadar satu hal, kesedihan dilepaskan dengan mata
sembab dan rintihan, sedangkan kebahagiaan berderai-derai, banjir air mata dan
sesegukan. Aku tahu, aku tahu sekarang.
Aku tengadah menatap ke langit. Takdir tersenyum. Ada peran
baru yang lebih kolosal yang akan kita mainkan setelah babak besar ini
berakhir. Tapi sekarang aku lebih yakin dari sebelumnya, kamupun pasti merasa
begitu. Bukan karena ada kamu, bukan juga karena ada aku, tapi karena ada kita.
Komentar
Gigi lo bisa bolong kalo kaya gitu.
Asal jangan di bakso aja, ga rela gue.
Ah, tulisannya Bang AhmadIkhtiar mencerminkan penulis senior ya ...
Salam literasi Bang ...^^
Tapi kerenn...
Ngayal, emang penulisnya type cowok begitu ya?? Ehehehh