Langsung ke konten utama

PANCASILA DI ATAS RERUNTUHAN

“Pancasila…

“Satu. Ketuhanan Yang Maha Esa…

“Dua…”

Koor bergelora dari puluhan anak yang mengikuti upacar bendera di sebuah sekolah dasar dekat pesisir. Suara mereka menggema menembus langit-langit sekolah yang hampir rubuh, membangunkan anak-anak burung gereja yang sedang tidur sambil menikmati semilir angin, suara mereka gemuruh mengalahkan debur ombak yang mesra berkejar-kejaran dan pecah di pantai.

Minul sudah hampir satu bulan menjadi salah satu siswi di sekolah dasar ini, berarti sudah hampir empat kali dia mengikuti upacara bendera dan selalu terkesima dan khidmat setiap kali lima kalimat yang menjadi tonggak dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibacakan. Lima kalimat ini begitu magis, menghipnotis jiwa minul yang belum genap tujuh tahun.

Dia bersama puluhan siswa lainnya berdiri tegap dalam tatapan matahari pesisir yang terik menjerang tubuh mereka tanpa ampun. Butir-butir keringat mulai nampak di keningnya tapi tak sedikitpun dia berusaha menyekanya. Wajahnya tetap tegak, lurus ke depan, memandang tiang bendera dari pipa besi yang mulai nampak berkarat di sana-sini.

Selepas pulang sekolah, sepanjang jalan Minul asyik bermain-main dengan kata-kata dalam kepalanya. Berusaha mengingat-ingat lima sila yang baru saja diucapkannya tadi pagi. Tapi sulit bagi Minul, terlebih bunyi sila ke empat… terlalu panjang…

Dengan rambut di kepang dua dan sandal jepit kebesaran, gadis berkulit gelap karena terlalu sering tersengat matahari itu berlari-lari menemui ayahnya yang sedang membetulkan jala yang mulai banyak berlubang. Ayah Minul adalah seorang nelayan pesisir turun-temurun. Darah nelayan mengalir kuat dalam nadi keluarga ini. Salah satu profesi yang paling sering dituduh sebagai kelompok yang paling tersisihkan, paling miskin di negeri yang katanya paling maritim sebumi dengan garis  pantai paling panjang di dunia. Ironis.

“Ayah. Ayah hafal Pancasila tidak?” tanya Minul sambil melepas topi dan mengibas-ngibaskan ke arah lehernya untuk mengusir hawa panas. 

Ayahnya berhenti sejenak dari pekerjaan yang sejak tadi ditekuninya. Sambil mengerutkan dahi seolah mencoba mengingat sesuatu ayahnya menggeleng, lalu menghisap rokok kreteknya dalam-dalam sambil membuang pandangannya ke arah laut, rahim biru pertiwi yang sejauh ini masih berbaik hati mau sekedar menyumpal mulut dia yang keluarganya yang lapar.

“Itulah kenapa Ayah mau sekolah, Nduk. Supaya kamu jadi orang pinter, kerja di kantoran. Ndak seperti Ayahmu yang bodoh ini, yang jangankan hafal Pancasila wong baca tulis aja ora iso.” Katanya sambil membelai anak keduanya itu dengan penuh kasih sayang.

“Kalimatnya panjang-panjang, Yah. Sulit sekali di hafal.” Kata Minul dengan wajah polos.

“Oh, begitu. Coba tanyakan sama Kakak kamu, barangkali dia hafal, dia kan sudah kelas empat. ayah janji, nanti kalau ayah ada rejeki lebih akan ayah belikan poster Pancasila yang sekaligus ada gambar garudanya.”

“Janji?”

“Janji.” Kata si ayah sambil sambil melingkarkan jari kelingkingnya.

Minul berontak ingin melepaskan diri dari pangkuan ayahnya, dengan sendal jepit yang kebesaran anak nelayan miskin dari pesisir ini melonjak-lonjak kegirangan sambil merapal bunyi Pancasila yang acak-acakan sepanjang jalan dengan suara keras.

Janji ayah memang bukan omong kosong, keesokan harinya Minul sumringah melihat poster Pancasila sudah tertempel di dinding dapur yang merangkap sebagai ruang keluarga sekaligus kamar mereka berempat. Poster pancasila berlatar burung garuda dan Sang Proklamator berkaca mata hitam gagah dengan air muka yang menggambarkan semangat membara. Tidak etis rasanya memajang poster yang sedemikian hebat disandingakn dengan wajan yang pantatnya luar biasa hitam dan sudip yang sekenanya diselipkan di celah bilik bambu tempat poster dipasang.

Perlahan Minul mengeja setiap kata yang ada di Poster itu. Hatinya luluh, jiwa nasionalismenya buncah, wajahnya merah padam menahan haru menghayati setiap kata yang tertulis di poster itu.

“Ayah itu siapa?” tanya Minul sambil menunjuk lelaki gagah dengan kacamata hitam terpampang di poster.

“Itu Pak Karno, Nduk.”

“Pak karno?”

“Iya, itu Soekarno. Orang yang menggagas Pancasila.”

“Oh iya, Minul sering dengar di sekolah nama Soekarno. Jadi Bapak itu yang membuat pancasila. Kenapa tulisannya panjang-panjnag ya, Yah? Kalau kalimatnya pendek-pendek kan Minul jadi mudah menghapalnya.” Kata Minul polos.

Ayah dan Ibu Minul hanya bisa menahan senyum mendengar kata-kata Minul yang polos itu.

“Mulai sekarang kamu jadi mudah menghapal Pancasila. Jangan sampai ayah belikan tapi kamu tidak baca ya!”

“Iya, Yah. Minul sudah hapal, tapi sila ke empat itu susah, panjang sekali.”

“Jangan menyerah Nduk. Kamu pasti bisa.”
Semalaman leher Minul sibuk berputar-putar, bolak-balik antara buku pelajaran dan poster yang menggantung di dinding. Obsesinya untuk menghapal pancasila mengalahkan rasa kantuknya.

Siang itu, sekitar pukul sepuluh. Kakak Minul menjemput Minul di sekolah, dengan wajah pias dan keringat bercucuran dia mengatakan kalau Minul harus buru-buru pulang, ada masalah gawat di rumah.

Dengan tergopoh-goph kakak beradik itu berlari-lari menyusuri jalan setapak yang dikeraskan dari kulit kerang khas perkampungan nelayan. Dengan napas yang sudah senen-kemis Minul berusaha membayangi kakaknya. Sulit sekali dengan sendal jepit kebesaran dan tas kecampang yang dijahit ala kadarnya dari karung bekas bungkus terigu.

Saat tiba dekat rumahnya Minul menyaksikan teman-teman sepermainannya sudah banyak yang berkumpul sambil menangis, Ibu Salma penjual gorengan dekat rumah Minul pun sama, mereka semua menangis. Puluhan orang dengan seragam hijau mambawa pentungan dan tameng dari kaca berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk dengan wajah beringas.

Minul bingung, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Tujuan utamanya hanya satu, lekas-lekas mencari Ayah dan ibunya. Minul menyusup di antara kerumunan, terseok-seok, tertendang di atara gemuruh teriakan, tangisan dan suara mesin kuning besar yang memekakkan telinga.

Minul melihat rumahnya hanya berjarak sekitar lima belas meteran, dia tidak berpikir panjang, dengan tubuh kecilnya dia coba bermanuver, menghindari orang-orang yang desak-desakan dan saling mendorong. Minul tidak tahu apa yang terjadi. Dia hanya ingin bertemu ayah ibunya dan melihat poster Pancasila yang gagah dilatari burung garuda dan Pak Karno. Itu saja.

Suara mesin semakin menderu. Teriakan semakin keras. Semua orang sibuk. Terlalu sibuk. Beberapa jam setelahnya mereka menemukan Minul di antara reruntuhan dengan wajah tersenyum sambil memeluk poster Pancasilanya…

Pancasila…

Satu…

Ketuhanan Yang Maha Esa…

Dua…

Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab…

Komentar

Bang Syaiha mengatakan…
Kalau dipoles dikit lagi, hebat banget ini cerpen..

Salut..
Deasy Windayanti mengatakan…
Keren tulisannya 👍.
Sungguh sebuah ironi yang utuh.
Nasionalisme yang mencabik2 nurani pembaca.
Rifa mengatakan…
Manteb banget...

Postingan populer dari blog ini

MEREKAM KENANGAN: BAPAK SINAGA

MEREKAM KENANGAN 3 Kuregangkan punggungku, lumayan pegal juga setelah menulis hampir setengah jam. Kulirik jam tanganku, sudah jam sebelas malam. Suara gerimis yang jatuh terdengar di atas genteng terdengar samar. Hujan ternyata, selama menulis tadi aku tidak mendengar suara hujan karena telingaku tertutup head phone . Pantas saja punggungku terasa dingin. Di cuaca seperti ini pasti enak sekali minum kopi, pikirku. Lalu aku bangun dan menuju ke dapur, mampir sebentar ke kamar mandi lalu masuk ke kamar tidur. Di dalam kamar aku duduk di tepi ranjang. Aku diam termenung, rasanya ada yang janggal, tapi aku tak tahu apa. Kunyalakan sebatang rokok. Asap mengepul. Kopi! Tadi aku mau menyeduh kopi. Kenapa bisa tiba-tiba lupa begini? Apakah karena demensia ini semakin parah? Kutepiskan pikiran itu, pasti hanya lupa biasa, batinku mencoba menenangkan diri. Segera beranjak dari kamar dan langsung ke dapur. Setelah selesai menyeduh kopi aku lewat ruang tamu. Laptop ku kok menyala ya?

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

TRIP MEMANCING KE PULAU UNTUNG JAWA

Sebenarnya ini pengalaman saya yang sudah lumayan lama tapi saya rasa ada baiknya juga saya bagikan karena pengalaman memancing ini salah satu yang saya pikir paling unik. Kejadiannya sudah hampi dua tahun lalu, saya sudah menekuni hobi memancing sekitar tujuh tahun. Banyak juga pengalaman yang bisa saya bagikan di kesempatan yang lain. Seperti biasa, sebelum memulai trip memancing saya menyiapkan segala sesuatunya di darat. Perlengkapan memancing khusus laut, pakaian yang bisa melindungi dari sengatan matahari dan juga umpan. Saya berangkat dari rumah bersama tiga orang teman menuju daerah Dadap, Banten sekitar pukul dua dini hari. Perjalanan menggunakan sepeda motor memakan waktu kurang lebih satu jam. Sebelum tiba di Dadap biasanya saya mampir untuk membeli umpan berupa udang hidup. Harga udang waktu itu sekitar delapan puluh ribu rupiah per kilo. Saya membeli dua kilo, sekaligus membeli makanan untuk sarapan. Untuk makan siang diputuskan membeli langsung di Pulau U