Langsung ke konten utama

10.10


                Laila berada di perempatan jalan yang ramai di pusat Jakarta. Matahari pagi menjelang siang bersinar terik seperti biasa. Ribuan orang dan kendaraan melintasi perempatan ini setiap harinya. Mereka bergerak seperti acuh tak acuh pada lingkungan di sekitarnya, mereka seperti diburu waktu. Laila melihat beberapa orang temannya melintas, mereka juga sama seperti dikejar sesuatu, atau mungkin malah mengejar sesuatu, mereka acuh. Laila berusaha berteriak memanggil mereka, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Suasana semakin riuh. Orang-orang semakin ramai. Semakin cepat pula mereka bergerak. Tiba-tiba telinga laila mendengarkan suara dengungan yang sangat keras, dia berusaha menutup telinganya erat-erat, tapi percuma, sepertinya suara itu bukan datang dari luar, malah sepertinya suara itu datang dari dalam kepalanya sendiri. Semakin erat dia menutup telingnya, semakin keras dengungan yang dia rasakan. Telinganya perih seperti dicabik-cabik.
                Jam sepuluh lewat sepuluh menit…. Jam sepuluh lewat sepuluh menit… dia seperti mendengar ada suara bisikan di antara dengungan tersebut. Bisikan itu makin lama makin keras. Sambil menahan perih di telinganya Laila berusaha melirik ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tanagn kirinya. 10.09.55….. hanya tersisa lima detik dari dari waktu yang dia dengar dari bisikan di telinganya tersebut. Dia bertanya-tanya ada apa dengan jam sepuluh lewat sepuluh menit… dia menunggu. Waktu seperti lambat bergerak.. 10.09.58…….10.09.59….. TUUUUUTTTTTTT. Suara dengungan itu semakin keras bergema. Dia tak bisa mendengar apa-apa lagi sekarang. Perempatan itu kini seolah-olah bergerak dengan gerakan slow motion, tiba tiba datang kabut pekat dengan cepat… semuanya tampak kabur. Laila benar-benar takut. Dengungan itu semakin keras….
                Laila terbangun dengan tubuh bersimbah peluh. Ini mimpi ketiga yang sama dan berturut-turut. Mimpi yang terasa terlalu nyata. Dia takut setengah mati, tubuhnya masih gemetaran. Sinar matahari yang hangat masuk ke dalam kamarnya melalui sela-sela tirai. Dia melirik jam dinding yang tergantung di dekat cermin. Jam sepuluh lewat sepuluh tepat. Tubuhnya semakin gemetar merasakan sensasi rasa penasaran dan takut yang kini dia rasakan. Mimpi ini pasti punya maksud, batinnya. Tapi dia merasa bingung bagaimana menginterpretasikan semua mimpinya. Dia hanya seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang memiliki hidup normal seperti anak-anak gadis lainnya. Dia tak pernah tertarik dengan hal-hal mistik, supranatural atau hal-hal di luar nalar lainnya. Tapi mimpinya selama tiga malam berturut-turut itu sudah menjungkirbalikan semua logikanya, dia merasa ada pesan khusus yang tersembunyi dari mimpi tersebut. Tapi dia tak pernah tahu harus bertanya kepada siapa. Dia hanya mempunyai sebuah petunjuk: jam sepuluh lewat sepuluh menit. Itu saja.
                Di zaman yang bergerak serba cepat ini informasi dengan sangat mudah didapatkan. Awalnya Laila bertanya pada teman-teman dekatnya, apakah mereka pernah bermimpi tentang sesuatu yang mengandung pesan? Sebagian besar temannya menjawab, iya. Laila semakin tertarik, berarti mimpinya selama ini bukanlah fenomena khusus yang mengandung pesan berarti. Ini seperti mimpi yang memiliki pesan-pesan ‘biasa’ lainnya yang kebanyakan orang juga pernah rasakan. Tapi semakin banyak Laila bertanya, dia semakin mendapatkan kesimpulan pahit. Mimpinya ternyata tidak ‘sebiasa’ mimpi yang orang lain kebanyakan impikan. Kebanyakan mimpi mereka hanya berkisar tentang kejadian pribadi yang akan dihadapi seseorang, sebuah pertanda akan datangnya sebuah penyakit, pertanda kematian dari orang-orang yang disayangi, atau kejadian yang bersifat sejenis lainnya. Kebanyakan mereka bermimpi giginya tanggal, dipatuk ular, didatangi orang yang sudah meninggal, tapi tak satupun yang pernah bermimpi tentang dengungan, kabut, apalagi angka jam spesipik tertentu. Semakin jauh dia mencari semakin dia menemui jalan buntu.
                Cara paling mudah yang bisa dia laukan hanyalah melalui dunia maya, menjelajah lewat mesin pencari di internet atau mengikuti forum yang  membahas tentang pesan-pesan melalui mimpi. Hampir satu bulan ini dia terus mencari, semakin banyak yang dia dapatkan, dia merasa pencarinnya semakin dekat. Dan mimpi itupun tak pernah sedikitpun absen untuk mewarnai mimpi laila, selelah apapun tubuhnya saat dia beranjak tidur, sehebat apapun doanya agar tidak bermimpi. Mimpi itu pasti hadir dan selalu membangunkan Laila tepat jam sepuluh lewat sepuluh menit. Dia merasa waktunya semakin menipis. Dia bisa merasakannya. Bisikan-bisikan itu semakin terdengar jelas, seolah-olah ingin mengatakan kalau waktunya sudah dekat. Dia terus mencari tapi tak pernah ada satupun potongan informasi yang bisa memuaskannya atau menjawab pesan di balik mimpi-mimpinya.
                Dalam pencariannya dia mengenal nama-nama tokoh yang mempunyai kemampuan merawal lewat mimpi, dia mengenal nama Nostrodamus, seorang indigo terkenal yang mampu meramal masa depan lewat mimpinya. Dia meramalkan peristiwa-peristiwa besar seperti revolusi perancis sampai kematian Putri Diana yang sempat membuat dunia heboh. Tapi nostrodamus adalah seorang indigo yang berarti diberi kelebihan dalam merasakan sesuatu yang orang kebanyakan tidak bisa rasakan. Sesnsor saraf dan indera mereka terjaga berpuluh-puluh kali lipat dari manusia normal. Dia mearsa mentok dengan ramalan Nostrodamus. Dia juga mengenal nama Jucelino Nobrega Da Luz, seorang guru sekolah berkebangsaan Brazil yang bisa meramal lewat mimpinya, yang ini lebih hebat lagi, dia bisa meramalkan tepat sebuah peristiwa besar yang akan terjadi. Tempat yang spesifik sampai ke jam-nya bisa dia ramalkan dengan tepat. Peristiwa besar dunia tak pernah luput dari ramalannya, mulai dari kehancuran menara kembar World Trade Center sampai Tsunami yang mengguncang Aceh, dia ramalkan dengan begitu sempurna. Tapi lagi-lagi Laila terbentur dengan pesan yang tersembunyi dari mimpinya. Jika Jocelino dapat dengan mudah melihat semua peristiwa yang akan terjadi dalam mimpinya sehingga dia dapat dengan mudah menginterpretasikannya, Laila lain lagi, dia hanya mendengar dengungan, kabut dan jam sepuluh lewat sepuluh menit, itu saja. Dia merasa benar-benar tertekan, dia mulai depresi.
                Dia mulai jarang bergaul dengan teman-temnnya, sekarang hidupnya hanya dapat dipastikan di dua tempat: sekolah dan kamar tidurnya. Selera bacaanya mulai bergeser, semula dia suka membaca komik atau novel-novel teenlit ringan dia sekarang terobsesi dengan buku filsafat dan analisis mimpi, semula dia mengidolakan justin bieber atau anggota k-pop, sekarang dia memuja-muja Sigmund Freud dan Carl Jung. Hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat, dia menjadi terobsesi. Dan mimpi anehnya adalah pusat gravitasi penggerak seluruh hidupnya sekarang.
                Satu bulan lewat satu minggu sudah dia berkelana, mencari-cari semua informasi yang berhubungan dengan mimpi-mimpinya, tapi sepotong jawabanpun tidak dia dapatkan. Dia menyerah. Dia hanya mampu berharap mimpinya itu tidak akan pernah hadir lagi. Tapi sebaliknya mimpinya itu justru semakin intens, semakin jelas, dia seolah-olah bisa merasakan rasa takut yang dirasakan orang-orang terjebak kabut dalam mimpinya. Dia merasa mimpi tersebut mulai menerornya.
                Dalam kamarnya sekarang berserakan gelas-gelas kopi kosong, dia tidak ingin tidur, dia takut, dia ingin tetap terjaga selamanya dan tak pernah melihat mimpi itu lagi, tapi sia-sia. Sebanyak apapun dia menumpahkan kafein ke dalam lambungnya dia pasti tertidur. Dan mimpi itu berulang. Lambungnya perih, jiwanya guncang, pikirannya terteror. Laila hampir gila.
                Laila pasrah, malam ini dia tidak menyentuh kopi sama sekali, dia lelah, kalau mimpi ini memang ditakdirkan untuk membuatnya gila, biarlah. Laila tidur cepat malam ini, dia merasa lelah, sangat lelah. Dalam mimpinya dia bertemu dengan kakeknya, seingat dia, dia memiliki seorang kakek dari ibunya, tapi dia tidak terlalu mengenal wajahnya, kakeknya meninggal saat Laila masih berumur lima tahun. Dalam mimpinya kakeknya mengajaknya berjalan ke sebuah bukit, dari atas bukit Laila bisa melihat laut dengan pemandangan yang indah di satu sisi dan pemandangan kota Jakarta di sisi lainnya. Kakeknya menggunakan pakaian putih-putih, wajah kakeknya bersinar terang sekali. Tangan kakeknya terasa begitu lembut saat membimbingnya.
                “Laila…” kata kakeknya dengan suara lembut.
                Laila hanya terdiam. Tak bisa bersuara. Pengalaman ini terlalu magis baginya.
                Kakeknya tersenyum lembut, lalu meneruskan kata-katanya.
                “Kakek tahu kamu pasti merasa lelah dengan semua mimpi yang kamu lihat”
                Laila masih terdiam
                “Itu semua pesan, cucuku. Pesan dari alam yang berusaha mereka sampaikan padamu. Melalui kamu. Untuk semua manusia”
                “Pe.. pe..san?” Laila tergagap.
                “Iya cucuku”
                “Kenapa harus aku?”
                Kakeknya menggeleng.
                “Pesan apa?” Laila penasaran.
                Wajah kakeknya berubah menjadi muram.
                “Alam sudah lelah cucuku. Mereka lelah dengan semua tingkah laku manusia. Alam sudah memberikan pesan kepada mereka, tapi nampaknya mereka terlalu sibuk. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka. Mereka menjadi semakin individualis. Manusia menjadi semakin serakah. Manusia lupa kalau alampun memiliki haknya untuk tinggal di bumi ini, sebagai pendamping. Bukan sebagai objek yang bisa dimanfaatkan manusia dengan sesukanya.
                “Alam sudah memberikan pesan, tapi telinga manusia nampaknya terlalu sibuk bercengkrama dengan telepon, televisi, radio dan semua yang membuat mereka seolah tuli. Alam sudah menjerit-jerit tapi manusia tidak pernah mau peduli. Mereka terus saja berperilaku seakan-akan merekalah satu-satunya mahkluk yang berhak untuk menguasai seisi bumi ini. Kami, alam, hewan dan manusia dulunya adalah kerabat, kami semua berhubungan dengan baik satu sama lain, kami saling menjaga, kami saling mengingatkan jika ada yang melakukan kesalahan. Tapi dengan kecerdasannya tiba-tiba manusia merasa menjadi penguasa, mereka tidak lagi berbicara dengan bahasa kami, kami kehilangan hubungan dengan mereka, kami tak bisa berkomunikasi, kami tak bisa mengingatkan saat mereka mulai memperlakukan kami dengan buruk, kami hanya bisa memberikan mereka peringatan-peringatan, tapi hati manusia semakin tidak sensitif, mereka acuh,,,, sampai akhirnya…..”
                “Akhirnya apa kek…?” Laila merasa penasaran.
                “Alam meminta pertanggung jawaban, cucuku. Mereka ingin keseimbangan. Mereka ingin menuntut balas”
                “Menuntut balas???”
                Kakek mengangguk.
                Tiba-tiba Laila merasakan sebuah firasat buruk, dan dia merasa dia adalah duta yang mewakili manusia untuk eksistensinya, dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan manusia.
                “Aku mohon jangan kek” Laila menangis, bukan menangis untuk dirinya, tapi menangis untuk nasib umat manusia.
                “Maaf cucuku, keputusan telah dibuat”
                Laila semakin panik, tangisannya semakin keras.
                “Itulah mengapa kamu yang terpilih cucuku, kamu dan beberapan orang lainnya. Kamu dan mereka masih memiliki rasa belas kasih terhadap manusia lainnya. Maka itu alam memilih kamu untuk memberikan pesan yang ingin mereka sampaikan. Tapi waktunya sudah terlambat. Keputusan sudah dibuat….. bersabarlah cucuku. Kamu adalah salah satu yang terpilih. Alam tidak mungkin salah……”
                Laila terbangun dari mimpinya. Jam sepuluh lewat sepuluh menit. Dia terbangun tanpa diiringi dengan mimpi kabut itu lagi, tapi tetap terbangun jam sepuluh menit. Tubuhnya terasa begitu segar. Udara yang dia hirup begitu segar. Dia tidak mendengar kebisingan lalu lintas dari jendelanya seperti biasa. Laila melangkah keluar kamarnya. Hening. Dia bergegas menuju ke luar rumahnya. Hening. Seperti tak ada satu manusia pun kecuali dirinya. Udara ini terlalu segar. Halaman rumah ini terlalu hening. Jalanan ini terlalu hening. Kota ini terlalu hening. Laila bersandar pada pagar rumahnya. Lututnya gemetar, tak bisa menopang lagi berat tubuhnya. Dia berjongkok. Nafasnya tersengal-sengal. Dia sadar yang tersisa kini hanyalah dia dan beberapa orang terpilih lainnya. Dia mulai menangis.











Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s