Laila berada di
perempatan jalan yang ramai di pusat Jakarta. Matahari pagi menjelang siang
bersinar terik seperti biasa. Ribuan orang dan kendaraan melintasi perempatan
ini setiap harinya. Mereka bergerak seperti acuh tak acuh pada lingkungan di sekitarnya,
mereka seperti diburu waktu. Laila melihat beberapa orang temannya melintas,
mereka juga sama seperti dikejar sesuatu, atau mungkin malah mengejar sesuatu,
mereka acuh. Laila berusaha berteriak memanggil mereka, tapi tak ada suara yang
keluar dari mulutnya. Suasana semakin riuh. Orang-orang semakin ramai. Semakin
cepat pula mereka bergerak. Tiba-tiba telinga laila mendengarkan suara
dengungan yang sangat keras, dia berusaha menutup telinganya erat-erat, tapi
percuma, sepertinya suara itu bukan datang dari luar, malah sepertinya suara
itu datang dari dalam kepalanya sendiri. Semakin erat dia menutup telingnya,
semakin keras dengungan yang dia rasakan. Telinganya perih seperti
dicabik-cabik.
Jam sepuluh
lewat sepuluh menit…. Jam sepuluh lewat sepuluh menit… dia seperti mendengar
ada suara bisikan di antara dengungan tersebut. Bisikan itu makin lama makin
keras. Sambil menahan perih di telinganya Laila berusaha melirik ke arah arloji
yang melingkar di pergelangan tanagn kirinya. 10.09.55….. hanya tersisa lima
detik dari dari waktu yang dia dengar dari bisikan di telinganya tersebut. Dia
bertanya-tanya ada apa dengan jam sepuluh lewat sepuluh menit… dia menunggu.
Waktu seperti lambat bergerak.. 10.09.58…….10.09.59….. TUUUUUTTTTTTT. Suara
dengungan itu semakin keras bergema. Dia tak bisa mendengar apa-apa lagi
sekarang. Perempatan itu kini seolah-olah bergerak dengan gerakan slow motion, tiba tiba datang kabut
pekat dengan cepat… semuanya tampak kabur. Laila benar-benar takut. Dengungan
itu semakin keras….
Laila terbangun
dengan tubuh bersimbah peluh. Ini mimpi ketiga yang sama dan berturut-turut.
Mimpi yang terasa terlalu nyata. Dia takut setengah mati, tubuhnya masih
gemetaran. Sinar matahari yang hangat masuk ke dalam kamarnya melalui sela-sela
tirai. Dia melirik jam dinding yang tergantung di dekat cermin. Jam sepuluh
lewat sepuluh tepat. Tubuhnya semakin gemetar merasakan sensasi rasa penasaran
dan takut yang kini dia rasakan. Mimpi ini pasti punya maksud, batinnya. Tapi
dia merasa bingung bagaimana menginterpretasikan semua mimpinya. Dia hanya
seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang memiliki hidup normal seperti
anak-anak gadis lainnya. Dia tak pernah tertarik dengan hal-hal mistik,
supranatural atau hal-hal di luar nalar lainnya. Tapi mimpinya selama tiga
malam berturut-turut itu sudah menjungkirbalikan semua logikanya, dia merasa ada
pesan khusus yang tersembunyi dari mimpi tersebut. Tapi dia tak pernah tahu
harus bertanya kepada siapa. Dia hanya mempunyai sebuah petunjuk: jam sepuluh
lewat sepuluh menit. Itu saja.
Di zaman yang
bergerak serba cepat ini informasi dengan sangat mudah didapatkan. Awalnya
Laila bertanya pada teman-teman dekatnya, apakah mereka pernah bermimpi tentang
sesuatu yang mengandung pesan? Sebagian besar temannya menjawab, iya. Laila
semakin tertarik, berarti mimpinya selama ini bukanlah fenomena khusus yang
mengandung pesan berarti. Ini seperti mimpi yang memiliki pesan-pesan ‘biasa’
lainnya yang kebanyakan orang juga pernah rasakan. Tapi semakin banyak Laila
bertanya, dia semakin mendapatkan kesimpulan pahit. Mimpinya ternyata tidak
‘sebiasa’ mimpi yang orang lain kebanyakan impikan. Kebanyakan mimpi mereka
hanya berkisar tentang kejadian pribadi yang akan dihadapi seseorang, sebuah
pertanda akan datangnya sebuah penyakit, pertanda kematian dari orang-orang
yang disayangi, atau kejadian yang bersifat sejenis lainnya. Kebanyakan mereka
bermimpi giginya tanggal, dipatuk ular, didatangi orang yang sudah meninggal,
tapi tak satupun yang pernah bermimpi tentang dengungan, kabut, apalagi angka
jam spesipik tertentu. Semakin jauh dia mencari semakin dia menemui jalan
buntu.
Cara paling
mudah yang bisa dia laukan hanyalah melalui dunia maya, menjelajah lewat mesin
pencari di internet atau mengikuti forum yang membahas tentang pesan-pesan melalui mimpi.
Hampir satu bulan ini dia terus mencari, semakin banyak yang dia dapatkan, dia
merasa pencarinnya semakin dekat. Dan mimpi itupun tak pernah sedikitpun absen
untuk mewarnai mimpi laila, selelah apapun tubuhnya saat dia beranjak tidur,
sehebat apapun doanya agar tidak bermimpi. Mimpi itu pasti hadir dan selalu
membangunkan Laila tepat jam sepuluh lewat sepuluh menit. Dia merasa waktunya
semakin menipis. Dia bisa merasakannya. Bisikan-bisikan itu semakin terdengar
jelas, seolah-olah ingin mengatakan kalau waktunya sudah dekat. Dia terus
mencari tapi tak pernah ada satupun potongan informasi yang bisa memuaskannya
atau menjawab pesan di balik mimpi-mimpinya.
Dalam
pencariannya dia mengenal nama-nama tokoh yang mempunyai kemampuan merawal
lewat mimpi, dia mengenal nama Nostrodamus, seorang indigo terkenal yang mampu
meramal masa depan lewat mimpinya. Dia meramalkan peristiwa-peristiwa besar
seperti revolusi perancis sampai kematian Putri Diana yang sempat membuat dunia
heboh. Tapi nostrodamus adalah seorang indigo yang berarti diberi kelebihan dalam
merasakan sesuatu yang orang kebanyakan tidak bisa rasakan. Sesnsor saraf dan
indera mereka terjaga berpuluh-puluh kali lipat dari manusia normal. Dia mearsa
mentok dengan ramalan Nostrodamus. Dia juga mengenal nama Jucelino Nobrega Da
Luz, seorang guru sekolah berkebangsaan Brazil yang bisa meramal lewat
mimpinya, yang ini lebih hebat lagi, dia bisa meramalkan tepat sebuah peristiwa
besar yang akan terjadi. Tempat yang spesifik sampai ke jam-nya bisa dia ramalkan
dengan tepat. Peristiwa besar dunia tak pernah luput dari ramalannya, mulai
dari kehancuran menara kembar World Trade Center sampai Tsunami yang
mengguncang Aceh, dia ramalkan dengan begitu sempurna. Tapi lagi-lagi Laila
terbentur dengan pesan yang tersembunyi dari mimpinya. Jika Jocelino dapat
dengan mudah melihat semua peristiwa yang akan terjadi dalam mimpinya sehingga
dia dapat dengan mudah menginterpretasikannya, Laila lain lagi, dia hanya
mendengar dengungan, kabut dan jam sepuluh lewat sepuluh menit, itu saja. Dia
merasa benar-benar tertekan, dia mulai depresi.
Dia mulai
jarang bergaul dengan teman-temnnya, sekarang hidupnya hanya dapat dipastikan
di dua tempat: sekolah dan kamar tidurnya. Selera bacaanya mulai bergeser,
semula dia suka membaca komik atau novel-novel teenlit ringan dia sekarang
terobsesi dengan buku filsafat dan analisis mimpi, semula dia mengidolakan
justin bieber atau anggota k-pop, sekarang dia memuja-muja Sigmund Freud dan
Carl Jung. Hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat, dia menjadi
terobsesi. Dan mimpi anehnya adalah pusat gravitasi penggerak seluruh hidupnya
sekarang.
Satu bulan
lewat satu minggu sudah dia berkelana, mencari-cari semua informasi yang
berhubungan dengan mimpi-mimpinya, tapi sepotong jawabanpun tidak dia dapatkan.
Dia menyerah. Dia hanya mampu berharap mimpinya itu tidak akan pernah hadir
lagi. Tapi sebaliknya mimpinya itu justru semakin intens, semakin jelas, dia
seolah-olah bisa merasakan rasa takut yang dirasakan orang-orang terjebak kabut
dalam mimpinya. Dia merasa mimpi tersebut mulai menerornya.
Dalam kamarnya
sekarang berserakan gelas-gelas kopi kosong, dia tidak ingin tidur, dia takut,
dia ingin tetap terjaga selamanya dan tak pernah melihat mimpi itu lagi, tapi
sia-sia. Sebanyak apapun dia menumpahkan kafein ke dalam lambungnya dia pasti
tertidur. Dan mimpi itu berulang. Lambungnya perih, jiwanya guncang, pikirannya
terteror. Laila hampir gila.
Laila pasrah,
malam ini dia tidak menyentuh kopi sama sekali, dia lelah, kalau mimpi ini
memang ditakdirkan untuk membuatnya gila, biarlah. Laila tidur cepat malam ini,
dia merasa lelah, sangat lelah. Dalam mimpinya dia bertemu dengan kakeknya,
seingat dia, dia memiliki seorang kakek dari ibunya, tapi dia tidak terlalu
mengenal wajahnya, kakeknya meninggal saat Laila masih berumur lima tahun.
Dalam mimpinya kakeknya mengajaknya berjalan ke sebuah bukit, dari atas bukit
Laila bisa melihat laut dengan pemandangan yang indah di satu sisi dan
pemandangan kota Jakarta di sisi lainnya. Kakeknya menggunakan pakaian
putih-putih, wajah kakeknya bersinar terang sekali. Tangan kakeknya terasa
begitu lembut saat membimbingnya.
“Laila…” kata
kakeknya dengan suara lembut.
Laila hanya
terdiam. Tak bisa bersuara. Pengalaman ini terlalu magis baginya.
Kakeknya
tersenyum lembut, lalu meneruskan kata-katanya.
“Kakek tahu
kamu pasti merasa lelah dengan semua mimpi yang kamu lihat”
Laila masih
terdiam
“Itu semua
pesan, cucuku. Pesan dari alam yang berusaha mereka sampaikan padamu. Melalui
kamu. Untuk semua manusia”
“Pe.. pe..san?”
Laila tergagap.
“Iya cucuku”
“Kenapa harus
aku?”
Kakeknya
menggeleng.
“Pesan apa?”
Laila penasaran.
Wajah kakeknya
berubah menjadi muram.
“Alam sudah
lelah cucuku. Mereka lelah dengan semua tingkah laku manusia. Alam sudah
memberikan pesan kepada mereka, tapi nampaknya mereka terlalu sibuk. Mereka
terlalu sibuk dengan urusan mereka. Mereka menjadi semakin individualis.
Manusia menjadi semakin serakah. Manusia lupa kalau alampun memiliki haknya
untuk tinggal di bumi ini, sebagai pendamping. Bukan sebagai objek yang bisa dimanfaatkan
manusia dengan sesukanya.
“Alam sudah
memberikan pesan, tapi telinga manusia nampaknya terlalu sibuk bercengkrama
dengan telepon, televisi, radio dan semua yang membuat mereka seolah tuli. Alam
sudah menjerit-jerit tapi manusia tidak pernah mau peduli. Mereka terus saja
berperilaku seakan-akan merekalah satu-satunya mahkluk yang berhak untuk
menguasai seisi bumi ini. Kami, alam, hewan dan manusia dulunya adalah kerabat,
kami semua berhubungan dengan baik satu sama lain, kami saling menjaga, kami
saling mengingatkan jika ada yang melakukan kesalahan. Tapi dengan
kecerdasannya tiba-tiba manusia merasa menjadi penguasa, mereka tidak lagi
berbicara dengan bahasa kami, kami kehilangan hubungan dengan mereka, kami tak
bisa berkomunikasi, kami tak bisa mengingatkan saat mereka mulai memperlakukan
kami dengan buruk, kami hanya bisa memberikan mereka peringatan-peringatan,
tapi hati manusia semakin tidak sensitif, mereka acuh,,,, sampai akhirnya…..”
“Akhirnya apa
kek…?” Laila merasa penasaran.
“Alam meminta
pertanggung jawaban, cucuku. Mereka ingin keseimbangan. Mereka ingin menuntut
balas”
“Menuntut
balas???”
Kakek
mengangguk.
Tiba-tiba Laila
merasakan sebuah firasat buruk, dan dia merasa dia adalah duta yang mewakili
manusia untuk eksistensinya, dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan
manusia.
“Aku mohon
jangan kek” Laila menangis, bukan menangis untuk dirinya, tapi menangis untuk
nasib umat manusia.
“Maaf cucuku,
keputusan telah dibuat”
Laila semakin
panik, tangisannya semakin keras.
“Itulah mengapa
kamu yang terpilih cucuku, kamu dan beberapan orang lainnya. Kamu dan mereka
masih memiliki rasa belas kasih terhadap manusia lainnya. Maka itu alam memilih
kamu untuk memberikan pesan yang ingin mereka sampaikan. Tapi waktunya sudah
terlambat. Keputusan sudah dibuat….. bersabarlah cucuku. Kamu adalah salah satu
yang terpilih. Alam tidak mungkin salah……”
Laila terbangun
dari mimpinya. Jam sepuluh lewat sepuluh menit. Dia terbangun tanpa diiringi
dengan mimpi kabut itu lagi, tapi tetap terbangun jam sepuluh menit. Tubuhnya
terasa begitu segar. Udara yang dia hirup begitu segar. Dia tidak mendengar
kebisingan lalu lintas dari jendelanya seperti biasa. Laila melangkah keluar
kamarnya. Hening. Dia bergegas menuju ke luar rumahnya. Hening. Seperti tak ada
satu manusia pun kecuali dirinya. Udara ini terlalu segar. Halaman rumah ini
terlalu hening. Jalanan ini terlalu hening. Kota ini terlalu hening. Laila
bersandar pada pagar rumahnya. Lututnya gemetar, tak bisa menopang lagi berat
tubuhnya. Dia berjongkok. Nafasnya tersengal-sengal. Dia sadar yang tersisa
kini hanyalah dia dan beberapa orang terpilih lainnya. Dia mulai menangis.
Komentar