Langsung ke konten utama

KENANGAN DALAM DUS


                Malam ini tanggal 23 Juli.... tepat pukul 00.00. aku tahu saat ini kau pasti sedang duduk di atas kursi rotan di balkon apartemenmu. Di atas meja bundar disampingmu ada sebuah dus yang sengaja kamu lapisi dengan kertas kado berwarna merah jambu, dengan motif hati kecil-kecil. Di dalam dus itu ada setumpuk kenangan yang malam ini hendak kau tuntaskan. Di samping kardus itu ada korek api dan secangkir teh chamomile kesukaanmu. Kamu pernah berseloroh bahwa saat kamu menghirup aroma chamomile itu semua beban yang ada di dalam kepalamu pasti sirna. Tapi malam ini kamu hanya menyeduh tanpa berusaha menikmati harumnya aroma chamomile itu. Aku tak tahu apakah kamu memang enggan untuk menghilangkan beban di kepalamu saat ini atau kamu justru yakin bahwa beban kenangan bertahun-tahun tidak akan begitu saja menguap dengan hirupan aroma chamomille selama beberapa detik. Kamu melirik dengan perasaan enggan tapi rindu ke dalam dus itu, di situ ada sebuah amlop berwarna merah jambu dengan tulisan namamu dan namaku di bagian depannya, nama kita ditulis dalam gambar hati yang kau ukir-ukir dengan spidol warna-warni. Perlahan kau ambil amplop itu dan berusaha untuk melirik ke dalamnya. Dengan perasaan sesak kau ambil beberapa lembar karcis bioskop, bon dan beberapa nota remeh temeh dari dalamnya. Aku yakin dalam hatimu pasti berkecamuk perasaan menyesal, kenapa dalam hubungan ini kamu yang harus jadi adminnya, sehingga kamu harus menyimpan semua beban moral kenangan lebih hebat dari pada aku, bisa saja kau bakar semuanya, tapi kamu khawatir justru asapnya semakin menyesaki ruang dalam hatimu, dan suatu saat kalau kau rindu kenangan itu kamu tak bisa lagi menghadirkannya dalam realitas. Aku tahu kamu takut  itu.
                Jarum jam mulai bergulir ke angka satu, tapi sedikitpun kamu tak pernah berpikir untuk beranjak dari tempat dudukmu, seolah momen ini adalah  momen suci dan agung dalam hidupmu, kamu begitu takzim. Aku tahu kamu mulai letih, matamu mulai berair, apakah kamu mulai lelah dan bosan dengan momen takzim-mu itu, tapi perlahan kau terisak, aku tahu, genangan air di pelupuk matamu bukan karena ngantuk, ada beban, kenangan, penyesalan yang sudah terakumulasi dan melahirkan embun yang merembes dari sela matamu. Padahal seumur hidup aku belum pernah menyaksikan kamu menangis, apakah momen ini begitu magis atau malah begitu menyakitkan untukmu? Aku tak tahu.
                Perlahan kamu tengadah ke langit malam yang tak berbintang itu, memang malam ini langitpun seolah mengerti apa yang kamu rasakan, seolah tak ingin mengganggu kekhusukanmu, angin pun enggan berhembus, padahal apartemenmu terletak di lantai dua puluh tiga. Perlahan kamu tengok lagi isi dalam dus itu, ada poto kita berdua. Pasti hati kamu merintih saat melihat poto itu, dan waktu dalam kepalamu akan berjalan mundur, kembali pada saat poto itu dibuat, pasti perih sekali rasanya mengingat wajah yang selama ini begitu kamu hapal, sampai urat urat di lehernya pun kamu ingat betul  alurnya, seberapa cepat dia bernafas, bahkan temperatur tubuhnyapun jelas sekali kamu bisa rasakan. Kamu akan menyesal memiliki dua buah bola mata indah itu dan berharap kenapa tidak buta saja sejak lahir karena begitu tersiksanya dengan momen yang terekam lewat mata itu.
                Isakanmu semakin keras, aku berdoa dalam hati bahwa isakan itu adalah isakan pamungkas yang akan mengakhiri semua kesedihanmu. Kamu sadar bahwa cinta itu bebas, cinta bukan perkara kalkulasi bon atau utang piutang, bukan pula efisiensi waktu apalagi cuma sekedar having fun, cinta itu lebih besar, cinta punya kuasa besar dalam perkara hidup manusia, kamu tidak bisa memilih seseorang untuk dicintai, tapi cintalah yang memilihkannya untukmu, walaupun kadang pilihannya getir tapi dia akan perlahan membimbingmu merubah empedu itu jadi madu. Kamu sadar betul kalau cinta itu totalitas, tak ada kata setengah-setengah dalam cinta. Kamu tahu dalam raga kita ada hati, dalam hati ada sebuah ruang kosong, ruang kosong itu sangat sempit dan hanya memiliki satu pintu, dan kuncinya dipegang oleh cinta. Ruang kosong itu teramat sempit, hanya bisa dihuni oleh dua jiwa, ruang itu akan terasa sesak jika ada tiga jiwa, apalagi lebih dari tiga, pasti perlahan cinta itu akan mati di dalamya. Kamu paham itu dan justru malah mengutuki pemahaman mu itu akan hakikat cinta.
                Malam semakin larut, temperatur udara mulai turun, tapi kamu tetap takzim mengurai kembali kenangan, walau sebenarnya kenangan itu justru seperti sembilu yang terus kau gesekan ke dalam hatimu. Ada sesuatu yang melintas dalam kepalamu, kau raih telepon genggammu, antara ragu dan harap kamu berusaha mengingat dua belas digit nomor kenangan itu, lalu jarimu beralih di antara tombol tombol bisu. Setiap tombol yang kamu tekan sepertinya mengeluarkan nada yang menakutkan, suara yang serasa seakan meledakkan jantungmu. Semakin banyak tombol itu kamu tekan, semakin ragu hatimu melanjutkan. Dan tanganmu berhenti saat hendak menekan  tombol ke dua belas.
                Lampu apartemenmu menyala, suara gagang pintu berputar, dan sebuah bayangan muncul dari baliknya. Bayangan itu berdiri, dan sadar betul saat ini kamu sedang butuh sendiri. Tapi dia mendekat. Tangan kukuhnya membelai lembut ujung rambutmu. Dan punggung tangannya menyeka sisa air mata di pipimu, dia tersenyum. Senyum yang tulus dan penuh cinta. Dia menyelempangkan sebuah syal ke lehermu, dan berbisik dengan mesra seolah-olah kamu adalah satu-satunya orang yang dia miliki di dunia ini.
                “sudah malam sayang, kamu harus istirahat....”
                Lalu dia membimbingnmu berdiri dan kalian berpelukan sambil berjalan dengan sangat lekat seolah-olah lantai yang kalian pijak begitu lengket berlinangan madu cinta. Lalu perlahan angin mulai berhembus kembali saat pintu balkon itu kamu tutup.
                Selamat malam, bisikku.....
                Kamu selalu berpikir bahwa aku lebih beruntung karena tidak pernah menyimpan kenangan, tidak pernah mereguk empedu pahit dari cawan cinta kita. Kamu salah besar. Saat kamu mennagis di atas balkon dan mengurai kenangan, aku ada di sini, di lobi apartemenmu, menggigil sambil berharap dan terus berdoa agar kamu menekan tombol kedua belas itu.....
                Angin berhembus semakin kencang dan membawa kenangan pahit manis dalam dus...
                Selamat malam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

HANYA SEBUAH DOA SEDERHANA

“Aku hanya ingin sebuah kehidupan yang jujur dan sederhana. Sesederhana dan sejujur kopi hitam yang kusesap saat hari gerimis.” E-mail itu aku terima sekitar tiga bulan lalu. Tak pernah ada firasat sebelumnya kalau e-mail yang sederhana itu akan mengantarkan hidupku ke dalam sebuah potongan cerita tentang kehidupan yang sedemikian rumit.             Jam sebelas malam, gerimis sejak sore. Dengan perasaan malas tapi dipaksa perut yang lapar akhirnya aku melangkah juga dari kamar kost tiga kali dua meter yang pengap ini. Tujuanku jelas, nasi goreng Bang Anwar, karena hanya di sanalah aku bisa berhutang malam-malam begini dan juga ada wifi gratisan yang bisa aku tebeng . Lumayan, aku bisa mengecek      e-mail dan facebook sekalian browsing . Siapa tahu ada informasi lowongan kerja yang bisa aku lamar.             Menyedihkan memang, di zaman yang katanya serba canggih dan era digital tanpa batas ini, tetap saja aku harus bersusah payah nebeng hotspot tetangga untuk sek

MEREKAM KENANGAN: DEMENSIA

MEREKAM KENANGAN 1 Terima kasih banyak unuk keluarga, para sahabat, guru-guru dan mantan kekasih yang sudah bersedia menjalani banyak kenangan pahit dan manis bersama. Semoga dengan saya menuliskan cerita ini bisa membangkitkan  simpul-simpul kenangan yang sempat terlupa. Sebagian besar kisah dalam cerita ini -mungkin- pernah terjadi dalam hidup saya atau mungkin juga hanya fantasi dan reaksi alam bawah sadar saya yang secara langsung atau tidak langsung tidak bisa saya filter lagi karena penyakit yang saya derita ini.             Dua hari yang lalu aku terlambat sampai ke tempat kerja. Masalahnya sederhana, di perempatan jalan terakhir menuju ke tempat kerjaku tiba-tiba saja aku salah membelokkan motor yang aku kendarai, akibatnya aku harus memutar jauh dan terjebak kemacetan yang biasanya aku hindari. Sampai di tempat kerja aku menebak-nebak kenapa aku sampai bisa salah belok, apakah aku melamun? Padahal jalur yang aku tempuh sudah enam tahun lebih aku lalui, sampai aku h

MEREKAM KENANGAN: UNTUK DIA

MEREKAM KENANGAN 3 Kutuliskan cerita ini untuk mengenang satu nama. Jakarta. Siapa sih orang di Indonesia yang tidak mengenal nama kota ini? Jakarta yang menjadi Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Jakarta yang walaupun sumpek tetap saja menjadi magnet orang-orang untuk mencari peruntungan. Jakarta, yang sejak lahir sampai sekarang menjadi tempat saya hidup. Dan, di kota inilah semua cerita ini bermula. Langit sore di bulan Juli itu redup, angin gemuruh. Di sebelah selatan tampak awan hitam mulai berarak. Sesekali kilatan petir tampak diiringi suara guruh yang samar. “Buruan baris! Wooiii…. Pada ngapain ngumpul di situ?” Tidak jelas suara teriakan siapa, yang aku tahu itu pasti salah satu seniorku. “Ini cewek tengil amat. Mau beken di sini, hah?” Tiba-tiba saja semua mata menatap ke satu titik yang di tuju. Seorang gadis berkulit putih dengan rambut lurus berponi sedang bersandar di pagar sekolah. Hari ini adalah hari terakhir Masa Orientasi Siswa di salah s