Langsung ke konten utama

Postingan

A SING SING SO

Malam luruh di atas kotamu yang muram. Bulan pucat yang mengiba kenangan, pasrah ditusuki gerimis dan jelatang. Sore di dermaga, memandangi rupa ombak tua yang jingga, renta, kusut masai dan terengah-engah menanti kematian. Kelasi setengah mabuk berteriak-teriak dari arah haluan, “Turunkan layar! Kita jelajah samudera purba!” Lalu sebuah kapal berlayar harapan dan berdinding kenangan melesak dalam kabut jingga. Di hadapanmu kini aku harus mengistirahatkan kata-kata. Dunia itu sepi, Sayang. Ada enam miliar manusia tanpa tegur sapa.Enam miliar mulut tanpa kata-kata. Jangan berharap nama kita ada di sana. Hanya lewat matamu lah, aku bisa merasakan keindahan Sebuah rekreasi azali. Ke sebuah wilayah tanpa tepi. Di hadapanmu kini aku harus menyatakan kebenaran. Berhentilah bermain petak umpat dengan takdir. Jangan pernah membelakangi matahari. Kita tatap matanya yang garang dengan keberanian, kalau perlu sampai wajah kita terpanggang. Genggam tanganku, tak ada ya
Postingan terbaru

Another One Bites the Dust

I had this perfect dream Un sueno me envolvio This dream was me and you Tal vez estas aqui *Barcelona- Freddie Mercury & Montserrat Caballe Nyanyian itu terdengar sayup, timbul tenggelam. Tersamar antara desahan nafas yang tertahan dan degup jantung yang semakin cepat. Semua tulang di tubuh Eva terasa mencair. Otot wajahnya menegang hebat, sudah beberapa kali dia tersedak. Wajah pucat tanpa darah yang megap-megap setengah mati mencari udara. Matanya membelalak liar menatap langit-langit kamar president suite yang dia sewa beberapa jam lalu. Ada lukisan replika The Creation of Adam karya Michael Angelo. Ini mengingatkannya saat berkunjung ke Kapel gereja Sistine. Waktu itu dia malas tengadah terlalu lama untuk menyaksikan lukisan itu, tapi kali ini dia benar-benar mampu mnyaksikannya dengan jelas. Adam yang gagah dengan tubuh telanjang menyentuhkan jarinya ke jari Tuhan, dan Tuhan-pun berbaik hati memberikannya restu dan pengetahuan. Jelas sekali, wala

KAMU

KAMU O, wahai kamu yang pergi Yang meninggalkan sebilah belati tertanam Dalam dada sang waktu Harus aku sampaikan sesuatu Kepadamu Bahwa pergimu bukan apa-apa Kecuali Rintihan tangkai ilalang patah Saat dengan tergesa Engkau melangkah Matimu tidak meninggalkan tangisan Pergimu tanpa mewariskan duka Pergilah... Pergilah... Tak akan ada lagi Yang tersisa di antara kita Kecuali Cerita Pengantar tidur anak-anak gembala Sambil terhuyung mengenang Mereka yang lupa Yang terperdaya Janji-janji surga Dari rombongan serigala Yang mengaku-aku gembala Pergilah Tidurlah Jangan lagi dikenang

SANDAL JEPIT TUA

Hidupmu... Sandal jepit tua yang merana dan nelangsa Berkelok, menanjak Masuk kubangan Menjejaki jalan hidup yang panjang, rawan dan mengkhawatirkan Terkapar sebentar Di atas pelatar Rumah Tuhan yang tua Sebelum minggat Bersekongkol dengan kaki lainnya Jangan bilang lagi padaku perihal nestapa Karena pernah aku reguk Empedu kehidupan Langsung dari cawan agung-Nya Jangan nyanyikan lagi Puja-puji apalagi serapah Sudah habis kupingku Disumpal, dilaknat Diurapi janji-janji surga Hidupmu... Sandal Jepit tua Yang merana dan nelangsa Kita berdua beriringan Di atas altar Rumah Tuhan yang tua Dunia...

CEMARA BIANGLALA

Kadang aku rindu Dengan suaraku yang memanggil namaku... Achmad, Achmad... Apa kamu tahu Kalau belakangan hatiku lengang Tak ada lagi kebisingan Apalagi nyanyian? Kesepian memang kadang menyakitkan Menarik-narik hatimu dengan kasar Mundur dalam kubangan kenangan Ikuti saja, Usah berlari Karena sehebat apapun kamu mecoba Ujung sepatumu akan terantuk kaki kursi Dalam pelukan sepi yang gemetar Hatiku perlahan gigil mengeja nama-nama Ayah, ibu, adik, kakak Tapi tak kutemu namaku di sana Ayah, ibu, adik, kakak Dimana rupaku terselip Dalam kubangan Semesta kenangan Kadang aku rindu Dengan suaraku yang memanggil namaku... Achmad, Achmad... Ah, itu suara ibu Memanggilku pulang

SMARACARLABALA

Terus kusebut namanya Antara tak sadar dan jaga Antara degup jantung dan tarikan nafas Raja-raja naik ke langit Dan menjadi dewa Darah tumpah di mana-mana Apa mau dikata Langkahku hanya terpaut sejauh sepatu yang tertinggal Dan nyawaku yang tak ada harga Nyangsang kedinginan di pucuk pohon pisang Sejauh apa pun aku memandang Aku hanya mampu menatap ngeri Udara diracun kerisauan Dan air mengalirkan tuba pada jiwa-jiwa Biarlah, istirahat sejenak dalam biara semseta Menunggu hari penghakiman datang Dan manusia berkeluh kesah Berbicara dengan tangan Menyumpah dengan telapak kaki Menangis dengan telinga Biarlah...

SURAT

Kutulis sajak ini Hanya sajak lacur, malang yang celaka Saat serapah tak lagi punya makna Kami duduk berdua bermuka-muka di dangau -aku dan mautku- Kami bercerita tentang raja-raja Tentang nenek moyangku yang purba Tentang Isa yang naik ke langit Aku terkesiap saat tersadar Betapa sepinya maut Betapa megahnya cinta, dan Betapa tidak berartinya kata-kata Maut bermalas-malasan sambil jongkok Menatapi garis gerimis Ada berapa bintang di semesta? Aku bertanya Seluas hatimu sanggup menampungnya Seberapa besar cinta? Sebesar cinta itu sendiri Seluas apa samudera? Tidak lebih luas dari tetesan embun asal kau sanggup menyelaminya Setua apa leluhurku? Tidak lebih tua dari anak yang sebentar lagi akan lahir Dan, kelahiran kali ini harus selamat Maka kukibuli maut sambil menjamunya dengan sebotol tuak Kelahiran kali ini harus selamat karena nasibku dan leluhurku tersangkut padanya Nanti, nanti... Saat hari penimbangan D